Bersinggungan dengan orang lain adalah suatu keniscayaan yang akan terjadi dalam hidup. Interaksi pada masa ini tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga pasti terjadi di dunia maya. Jika singgungan yang di dunia nyata dapat terjadi secara fisik (co: menyenggol) dan verbal, singgungan di dunia maya terjadi melalui tulisan. Terlebih di dunia maya tulisan sangat mudah diinterpretasi dengan bermacam-macam rasa, tergantung dari suasana dan kondisi si pembaca. Tak ayal singgungan di dunia maya ini terkadang berpengaruh terhadap jalinan yang terjadi di dunia nyata.

Contoh terbesar dari singgungan di dunia maya adalah melalui Facebook. Facebook menyediakan berbagai macam sarana kepada para pengguna untuk berbagi seperti status, foto, tulisan, dan juga video. Aplikasi-aplikasi di Facebook jelas memudahkan seseorang untuk terasa lebih dekat dengan orang lain (secara bersama-sama) dalam ratusan atau bahkan ribuan kilometer yang membentang. Bagi yang menjalani Long Distance Relationship, Facebook menjadi sarana murah untuk berkomunikasi karena penggunaan facebook yang memang mudah dan luas.

Kemudahan yang diberikan facebook untuk berbagi membuat semakin banyak celah singgungan antara teman yang satu dengan teman yang lain. Contohnya sepasang suami-istri yang menjalani LDR. Mereka berbagi afeksi serta kenangan untuk mengatasi jarak yang membentang di Facebook. Terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi dengan teman-teman di lingkaran pertemanan mereka. Bagi teman yang memang “tidak terpengaruh” (karena status yang memang sudah double atau karena mereka orang yang super cuek) dengan hal-hal PDA semacam itu tentunya tidak akan ambil pusing. Akan tetapi di sisi lain bagi orang-orang yang masih belum menemukan pasangan hidup, hal-hal seperti itu bisa jadi akan membuat “luka” dan cemburu. Tidak ada yang salah dengan dua sisi tersebut. 

Penyikapan-penyikapan itu memang bergantung pada kondisi dan situasi yang ada dari “pembaca”. Akan tetapi alangkah baiknya bila kedua belah pihak (dalam hal ini si pembagi dan si pembica) menyikapi pula dengan kelapangan hati. Si pembagi memang memiliki hak untuk berbagi di dinding facebooknya. Akan tetapi membagi sesuatu yang berlebihan bukanlah merupakan sesuatu yang baik. Si pembaca juga jangan asal menjudge si pembagi sengaja memamerkan atau apapun itu. Karena bisa jadi status, foto makanan, atau apapun itu bukan benar-benar dimaksudkan hanya kepada pasangannya. Bisa jadi itu merupakan salah satu cara untuk memberitahukan kepada handai taulan bahwa mereka baik-baik saja.

Kedua belah pihak (si pembagi dan pembaca) memang harus memiliki kelapangan hati yang luas karena inilah resiko hidup di dunia maya (dalam hal ini perFacebookan). Saya sendiri masih belajar melapangkan hati atas apa yang silih berganti terjadi di newsfeed yang saya terima ketika membuka Facebook. Saya tidak  bisa serta merta menjudge atau apapun itu ketika teman saya berbagi di sana karena memang inilah resikonya. Saya sendiri sedang belajar, termasuk ketika ada status seorang kawan yang menyatakan bahwa bisa jadi upload-an foto-foto makanan yang ada di Facebook dari seorang wanita, berpotensi menjadi semacam godaan buat pria. Sebagai seorang yang suka meng-upload foto itu, saya merasa “sakit” dengan kritikan ini. Tujuan mengupload foto "itu" menurut saya bukan hanya sekedar untuk “pamer” namun bisa jadi sebagai salah satu cara memberikan kabar kepada kerabat (misalnya orangtua) bahwa anaknya baik-baik saja hidup jauh dari mereka.

Akan tetapi setelah saya memikirkannya, saya kemudian bisa menerima kritikan ini dengan hati yang lapang. Ya, bisa jadi memang status, foto, atau apapun itu yang kita bagi secara tidak sengaja melukai atau membuat ketidaknyamanan pada orang lain. Jika saya tidak lapang hati dengan status tersebut maka saya sama saja dengan orang yang tidak menyadari adanya resiko berbuat kesalahan di jejaring sosial. Alhamdulillah, dengan kejadian ini saya akan lebih berhati-hati untuk berbagi di Facebook. Atau mungkin karena saya yang tidak mau mengambil resiko sakit hati, saya perlahan-lahan akan menarik diri dari jejaring sosial ini. 

Oleh karena itu saya ingin meminta maaf apabila ada status, foto, komentar, atau apapun itu yang secara tidak sengaja melukai hati teman-teman. Saya hanyalah insan yang berbuat khilaf. Maka maaf dari teman-teman semua sangatlah saya harapkan agar menjadi pengurang timbangan keburukan saya di akhirat nanti.

Ya, manusia memang tak pernah punya kebebasan sepenuhnya karena kebebasannya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pandai-pandailah berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain karena kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain.

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)


ini bisa jadi ini neraka atau surga kita, tergantung bagaimana kita men"jadi"kannya





Di usia galau, yah kira-kira di usia setelah lulus SMA di kala itu, aku sangat senang berburu untuk datang di seminar pra nikah. Maklumlah, dulu waktu SMA cuma bisa dapet ilmu lewat buku. Sekarag pas kuliah, saat dimana banyak bertebaran seminar pranikah (gratis), otomatis aku tidak mau begitu saja melewatkannya. Inilah salah satu momen dan ilmu yang aku rekam saat mengikuti seminar pranikah yang diselenggarakan di fakultasku.

“Bagaimana cara membedakan menyegera dalam menikah dengan tegesa-gesa dalam menikah…?” 
Aku memecah kesunyian auditorium psiko kala itu dengan pertanyaan pembukaan yang dahsyat (hehe, itu sih menurutku). Ya, abis bingung sih membedakan menyegera dengan tergesa-gesa. Pasalnya, akhir-akhir ini aku lagi membicarakan pernikahan dini (saat kuliah) dengan beberapa orang. Seperti biasalah, ada yang pro ada juga yang kontra.

Yang pro bilang “Kenapa mau melaksanakan kebaikan mesti ditunda?”. Hehe, aku sih sepakat bahwa yang namanya kebaikan gak boleh ditunda.

Tapi coba denger pendapat yang kontra “Realistis aja deh, mau hidup pake apa nanti, zaman lagi sulit begini…” Huff, aku juga tak menampik pendapat ini. Iya, juga ya, kalo dua-duanya sama-sama lagi kuliah ataupun si laki-laki udah kerja, tetep aja dia mesti nanggung hidup + biaya kuliah mereka berdua/ istrinya. Kan otomatis orangtua udah lepas tanggung jawab. Ah, jadi bingung…Eh, ko malah ngalor ngidul begini sih???

Lanjut ya ke pertanyaan yang aku ajuin ke Akh Salim. Taukah kawan, dia menjawab apa? Ukuran tergesa-gesa atau menyegera itu subjektif. Hehehe, yaiyalah…karena persepsi orang kan berbeda-beda ya?
Hmm, tapi Akh Salim menjelaskan bahwa perlu ada beberapa persiapan menuju pernikahan, yaitu:

1. Persiapan Ruhiyah
Meliputi kesiapan mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggungjawab, bersedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada coz kan kalo udah nikah udah hidup berdua dengan orang lain (istri/suami). Sabar dan Syukur serta menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya

2. Persiapan Ilmu
Bersiap menata rumah tangga. Bagi akhwat, harus menjadi seorang manajer handal, coz dialah yang akan mengelola keuangan rumah tangga. Ilmu tentang komunikasi, ilmu tentang Ad-diin, ilmu tentang menjadi orangtua yang baik (parenting). Hehe, Akh Salim sendiri katanya mempelajari ilmu Parenting sejak SMA. (bagi kami anak Psikologi, ini mah udah jadi makanan sehari-hari, hehehe).

3. Persiapan jasadiyah
Yang punya penyakit2, harus segera diobati 

4. Persiapan Maadiyah (material)
Komitmen untuk segera mandiri

5. Persiapan Ijtima’iyyah (sosial)
Hmm, ini nih gak kalah penting, coz pasti kita juga akan terjun ke masyarakat bukan? Dan yang pasti harus memiliki visi dan misi kebaikan di lingkungan masyarakat kelak.

Nah, itu tuh persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Tapi, yang namanya persiapan, artinya sebuah proses yang tiada henti. Maka, ukuran sampai mana harus dicapai sebelum menikah adalah juga relative. Hualah…dari tadi relative mulu? Hehehe, tapi ada satu parameter yang jelas dari Rasul, lohh…

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kalian telah bermampu Ba’ah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna ba’ah di sini menurut sebagian besar ulama adalah kemampuan biologis. Adapun makna tambahannya,menurut Imam Asy Syaukani adalah al-mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ulama lainnya adalah penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamanya adalah yang pertama.

Jelas kan yang diperintah adalah bagi mereka yang mampu, kalo belum mampu… ya Puasa aja. Tapi, bagi mereka yang mampu, maka janganlah menunda-nunda! 

Huaa…udah ah. Sebenernya masih banyak lagi yang mau di share, tapi nanti2 aja ya…! Oh, iya, gara-gara pertanyaan ini, aku dapet buku gratis dari panitia loh! (Si Tami juga, karena kita berdua emang udah niat banget nanya biar dapet bukunya, hihihi. Alhamdulillah, Allah mendengar keinginan kami….). Hadiah Bukunya merupakan bukunya Salim A Fillah tentunya, yang judulnya “Bahagianya Merayakan Cinta”. Hehehe. Lumayan, jadinya tak usah merogoh kocek buat melengkapi koleksi buku-bukuku J

Itulah sebagian peristiwa dan hikmah yang kurekam saat berburu ilmu di semiar pranikah. Nampak sekali betapa sangat menggebu-gebunya keinginanku menikah di usia dini kala itu. Akan tetapi, tak semua teman-teman seusiaku saat itu, menggalau di usia ini. Ada beberapa teman yang selalu mengingatkan bahwa antusias di topik yang seperti ini bisa jadi menurunkan semangat kerja di urusan-urusan yang lain. Ada juga yang sepakat bahwa topik seperti ini memang harus dikaji sedini mungkin karena untuk sebuah kehidupan pernikahan yang akan kita habiskan hampir diseparuh umur kita kelak. Prokastinasi dalam hal ini bukan menjadi suatu pilihan untuk mempersiapkan sebaik-baik bekal. Ilmu tentang pernikahan bukan melulu yang Nampak indah dimata, tapi juga mencakup ilmu sebagai orangtua. Di tengah argumen dua kubu tersebut, ada satu sahabatku, Tery Marlita, yang dengan bijak menuliskan tentang antusiasme menikah di usia galau ini,

Pernikahan...
sebuah kata yang begitu sarat mengikat segalanya, menyatukan dan mendinamiskan...

Beruntunglah kita yang terlahir dan hidup dalam berislam, karena Alloh begitu ramah mempersilahkan kita untuk dapat mengenggamnya tanpa merasa bersalah,  bahkan segalanya menjadi ibadah...

Benar, pernikahan tak hanya sekedar berijab qabul...
ada banyak hal yang kita harus perhitungkan belajar... dan terus belajar...

Tak perlu merasa malu...
meski
tak perlu pula mengungkapnya lebih jauh saat kita baru mampu hanya sebatas shaum...


Poin penting yang bisa aku ambil dari kegalauan tentang menikah di usia itu adalah manfaatkan waktu dan kesempatan mendapatkan ilmu untuk mempersiapkan sebaik-baik bekal. Akan tetapi jangan sampai kita terlalu berlebihan mengumbar keinginan kita untuk menikah dini. Meskipun mungkin salah satu maksud “memperlihatkan” keinginan menikah muda di jejaring sosial, misalnya adalah untuk menjaring peng-aminan sebanyak-banyaknya dari teman, namun sepertinya akan lebih baik jika kita meminta secara sembunyi-sembunyi kepada sang Maha Cinta untuk mengabulkan doa-doa itu. Semoga dengan pinta yang melangit di tengah malam, Allah menyegera mengabulkan doa tersebut sesuai dengan apa yang kita mau. Dan ketika masa (menikah) itu tiba, tentunya mengabari saudara/i kita tentang hari indah itu akan terasa lebih membahagiakan dibanding menambah pikiran mereka tentang status-status galau kita di jejaring sosial.

wallahua'lam




27 Oktober 2011

Dahulu aku tak pernah menyangka akan menikah di usia 21 tahun. Pun sebenarnya bayangan nikah muda itu telah ada semenjak aku remaja. Saat booming-boomingnya buku Salim A. Fillah yang bercerita tentang romantisme indahnya pernikahan usia muda, aku pun juga bermimpi akan menikah di usia muda, bahkan jikalau bisa menikah saat masih berstatus sebagai mahasiswa. Alhamdulillah, Allah pun kemudian mengabulkan pintaku. Aku disandingkan dengan jodohku di usia 21 tahun, tepat 2 bulan sebelum genap berusia 22 tahun, dan juga masih berstatus sebagai mahasiswa .

Usia 21 tahun masih dipandang sebagai usia yang amat muda untuk menikah. Orang pun kadang masih menyangsikan kesanggupanku menikah. Aku tak ambil pusing. Toh yang tau diri ini siap atau tidak itu diriku sendiri, buat apa mendengar kata orang lain, begitu pikirku.

Entah karena begitu percaya diri aku bisa mengemban amanah ini, atau karena aku terpapar oleh teman-teman yang menikah muda, akhirnya aku pun mengambil keputusan itu. Tentu saja hal ini tak terlepas dari campur tangan Allah yang turut aku libatkan. Ya, dewasa itu memang sebuah pilihan. Teman-temanku yang menikah muda terlebih dahulu cuma berpesan bahwa keyakinan merupakan modal utama. Toh yang namanya belajar menjadi seorang istri akan terus berjalan sepanjang masa, bukan?

Peranku pun kemudian bertambah. Aku kini mempunyai status sebagai seorang anak, sebagai seorang mahasiswa, dan juga sebagai seorang istri yang ber-LDR (long distance marriage) dengan suaminya. Awalnya aku cukup shock membagi waktu antara tugas kuliah, bersilaturahmi dengan DUA orangtua, dan tentunya menjadi seseorang yang ada untuk suamiku. Untungnya dua orang temanku yang juga menikah muda (dan menjalani LDR) selalu setia berbagi keluh kesah denganku. Alhamdulillah semua dapat diatasi sampai pada waktu aku bisa hidup seatap dengan suamiku (di negeri orang).

Akan tetapi ternyata Allah telah mempersiapkan ujian lain dalam kondisi ideal (tinggal seatap dengan suami) ini. Ya, ujian yang benar-benar menguji kesabaran dan rasa kesyukuran kami. Tantangan demi tantangan yang harus hadapi di negeri orang ini semakin membuatku menginsyafi betapa tidak mudahnya menjadi seorang istri. Siapa yang sangka bahwa Allah akan menempaku di usia awal pernikahan kami dengan ujian seperti ini. 

Untungnya aku memiliki suami yang sabar membimbingku. Ya, Allah memang tau yang terbaik untukku. Dan lembaran-lembaran kisah penuh hikmah yang terserak itu kini akan ku coba rangkai menjadi kumpulan catatan kecil di sini. Semoga ini ternilai sebagai salah satu beban yang akan memberatkan timbangan kebaikanku


Alfizahra




Yaa... keknya bakal terancam LDR-an lagi. Berhubung izin tinggal saya di Sg masih belum jelas, mau gak mau terpaksa LDR-an lagi deh sampai statusnya jelas.

Mudah-mudahan bisa cepet beres ya. (aamiin)
Akan selalu ada
Masalah yang menghampirimu

Tak mungkin ia tak ada
karena ia sendiri berfungsi
sebagai jembatan yang lebih mendekatkan
antara kau dan Tuhan

Tak..tak...tak...tak...

Suara itu masih saja terddengar jelas di telingaku. Kulirik jam yang tegantung di tembok. Aih sudah lewat jam 2 pagi, masih saja kamar ini dipenuhi suara-suara itu.

Aku beranjak, tak enak juga rasanya mendengar suara tak-tak-tak itu, sementara aku lelap tertidur. Kubuka kamar, lalu melangkah  menuju dapur. Kuintip senyapnya kota lewat jendela dapur. Sepertinya hanya sedikit perbedaan suasana antara siang dan dini hari. Sangat berbeda dengan perbedaan suasana Jakarta di siang dan dini hari, batinku dalam hati. 

Aku bergegas mengisi air dalam ceret listrikku. Hanya mengisinya setengah penuh lalu meletakkannya di atas besi berbentuk lingkaran. Kutekan tombol on pada ceret listrikku itu.

Brsss....brsss..... suara air mulai menunjukkan titik didihnya. Kubuka lemari dekat kulkas, mengambil sesachet kopi lalu menuangnya ke dalam cangkir hijau bergagang. Tak lama kemudian tombol di ceret listrik berbunyi, tanda sang air sudah sampai pada puncak titik didihnya.

Kutuang air mendidih tersebut ke dalam cangkir, mengaduknya dan langsung membawanya kamar.

"Sudah hampir seminggu seperti ini"

"Maaf ya sayang, namanya juga kuli di negeri orang, jadi harus perform yang bagus", kata laki-laki dihadapanku, "Makasih ya karena udah selalu support aku, hehe", sambungnya nyengir, tangannya lalu meraih cangkir yang aku sodorkan.

Kutatap laki-laki di hadapanku ini. Ah ya...  yang namanya hidup, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang memang butuh perjuangan. Dan salah satu bentuk kecil perjuanganku adalah dengan membuatkan secangkir kopi kepada laki-laki di hadapanku, yang tengah berjuang ini. 

Huhu... entah kenapa saya selalu deg-degan kalo lagi ngomong english sama siapapun. Meskipun singapur pake bahasa melayu juga, tapi tetep aja yang namanya english itu dominan di mari.

Allah, mudahkan saya untuk dapat lancar berbahasa yang satu itu...
*aamiin
NewerStories OlderStories Home