Assalamu'alaikum, Jundiku sayang.
Izinkan bundamu ini menulis surat lagi untuk yang kesekian kalinya. Surat ini bukan surat rengekan. Insya Allah kini aku berniat mengalihkannya menjadi semacam renungan. Berharap, kelak nanti kau akan membacanya dan meresapinya dalam laku hidupmu.
Aku ingin bercerita padamu tentang keluh. Keluh itu kadang bergun bagi orang macam ibumu ini. Dengan keluh yang disertai air mata, setidaknya aku bisa meng-coping stress emosiku. Meskipun kadang memang tak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya keluhku yang terucap bersamaan dengan air mata ini membuat hatiku tak sesak lagi.
Haiss, tapi bukan ini yang mau aku ceritakan padamu, Nak. Anggaplah ini hanya sekedar intermezzo mengenai kepribadian ibumu yang kadang ajaib ini :p.
Ya, belakangan ini aku belajar banyak tentang keluh dari sahabat-sahabatku. Pertama dari Tery. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Sampai-sampai aku mengira bahwa ia orang yang sangat amat kuat. Aku sering "mengeluh" tentang kegalaunku akan dirimu yang tak kunjung hadir. Ia, seperti biasa menerima setiap aliran keluhku dengan tangan terbuka. Sampai kemudian ia berkata, "berat-an mana, Put liku hidupmu dibanding denganku? ;)".
Aih, Nak. Seketika itu pula aku tersadar. Apa yang aku alami saat ini tidak seberat apa yang sedang ia alami sekarang. Ia pun kemudian mengatakan hal ini kepadaku "apa yang kamu liat di jejaring sosial itu terkadang bukan realita yang sesungguhnya. Tapi kita terlanjur membandingkan apa yang dilihat, sehingga kita hanya berfokus pada hal yang belum dimiliki, namun sudah dimiliki oleh orang lain."
Ah, Nak seberat apapun hal yang ia hadapi, nyatanya ia masih bisa lebih bijak dihadapanku :). Kata-katanya pun kini membuatku sadar tentang kurangnya sisi kesyukuran yang aku miliki :(. Ya, keluh itu tetap ada bahkan semenjak Tery menasihatiku demikian. Entahlah, Nak seakan ibumu ini masih harus terus menerima diberitahu tentang hikmah menjalani kesyukuran tersebut.
Lalu, rasa inferioritas yang baru-baru ini melandaku (lagi). Maka kuceritakan hal ini pada sahabatku yang lain, Tami namanya.
Ku BBM dia, dengan sedikit pembuka lalu kutumpahkan segala keluhku padanya. Ia pun menyoroti hal yang sama yang telah diucapkan Tery. Bahwa terkadang sisi pendengaran dan penglihatan kepada orang lain yang justru merusak sendi-sendi pertahanan kita. Lagi-lagi mungkin karena kita terlalu "mendengarkan" dan "melihat" orang lain, membuat bahagia kian menjadi sulit dieja.
Ah, Nak ibumu ini memang masih harus banyak belajar. Belajar bahwa bahagia itu tak kan bisa diraih jika pembandingnya adalah keadaan orang lain. Pelan-pelan ibumu ini akan belajar mendefinisikan kebahagiaan dengan sebenar-benar definisi dan menaruhnya di hati. Belajar bahwa keluh justru membuat bahagia menjadi begitu sulit dieja. Belajar bahwa kesyukuran itu merupakan kunci bahagia. Dan belajar bahwa Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam ini mentakdirkan takdir terbaik bagi hambaNya.
Doakan ya, Nak semoga ibumu ini selalu mampu meneguk hikmah di setiap langkah hidupnya. Ya, tak hanya aku, ibumu, tentulah semoga ayahmu pun demikian.
Salam rindu,
Ibumu
0 comments:
Post a Comment