Dulu, ketika employment pass aa' di-reject sama MOM (Ministry of Manpower) Singapura, saya sempat bertanya-tanya kenapa. Namun setelahnya saya sadar, itu cara Allah memberi tahu kami bahwa kami mempunyai teman-teman yang luar biasa di sana (Singapura), yang mau dimintai tolong, meminjamkan hartanya untuk biaya hidup kami sampai aa' apply kerja dan di-approve EP-nya. Yap, dan benar saja dipenghujung kepasrahan saya tiba-tiba saja aa' dapet panggilan kerja lagi, dan setelah melewati drama sempat dimarahin sama pihak imigrasi karena terlalu lama berada di Singapur dengan visit pass, toh akhirnya masalah peng-approve-an EP beres juga (dan Alhamdulillah kami juga berhasil mengembalikan semua yang kami pinjam kepada saudara-saudara kami itu sedikit demi sedikit).

Dulu, ketika kena 'teror' sama loan shark gegara utang yang dimiliki owner HDB yang kami tempatin, saya sempat ngebatin, ko ada-ada aja ya? :D, tapi sekarang saya menyadari Allah tuh mau nunjukin pembelajaran berharga sama kami bahwa terlibat dengan yang namanya rentenir itu gak pernah enak sama sekali, bikin strees, dan bikin senewen, hahaha (padahal itu bukan kami yang berutang, tapi tetep senewennya sama).

Dulu, ketika gagal (belum diterima) kerja di salah satu sekolah bergengsi di Jakarta saya sempet kecewa, bahkan jadi merendah, emang gw sejelek ini ye ampe gak keterima di itu sekolah? Namun, kemudian saya sadar kalo Allah tuh emang nyurus saya buat ga LDR-an sama suami. Biar bisa ngedampingin suami membangun usahanya di Jogja; Biar saya semakin belajar memperbaiki bahasa Inggris saya; dan juga biar saya gak stress menghadapi kemacetan di Jakarta :p.

Dan ketika sampai saat ini kami masih belum dikarunia keturunan, kini saya sadar, mungkin Allah emang ngasih waktu buat kami fokus dulu di cita-cita kami. Biar usahanya aa' (dan teman-teman founder lainnya) itu besar dulu, biar kami semakin banyak menambah bekal kami untuk menjadi orangtua, dan juga biar saya bisa nempuh pendidikan psikolog dulu. Insya Allah ini cuma penundaan Allah saja. Kelak pada saatnya, di waktu yang tepat dan terbaik kami bisa memiliki keturunan yang shalih dan shalihah. Yang penting ikhtiarnya dan juga doanya jalan teruuuuus.

DO YOUR BEST AND LET GOD DO THE REST 

Mohon doanya supaya kuliah saya berjalan lancar dan usaha suami saya (dan kawan-kawannya) juga semakin barakah dan berjaya :)



Hahaha, gak banget ya judulnya? Tapi ini serius, tiba-tiba gara-gara baca buku Feist & Feist lagi saya jadi kesengsem sama pemikiran Adler (dibanding Freud dan Jung, maklum baru tiga tokoh itu yang dibaca lagi :p).

Ga tau, rasanya pemikiran-pemikirannya itu asa 'nyambung' gitu sama apa yang saya juga pikirkan (clique gitu di hati ceritanya). Apalagi tentang pemikiran perlakuan terapinya terhadap anak dan orangtua, Adler berpendapat kalo ada masalah sama anaknya itu, orangtua jangan 'disalahin', tapi diterima keluh kesahnya dan didorong agar mereka mampu merubah perlakuannya terhadap anak. Selain hal tersebut, saya juga suka sama konsep social interest-nya. Salah satu pendapatnya Adler, manusia yang sehat secara psikologis adalah manusia yang memiliki minat sosial yang tinggi.

Udah sih mau cerita gitu aja, gak mau panjang lebar, hahaha. Tapi emang kebangetan ya saya, menyadari Adler itu keren malah pas udah lulus kuliah, dulu  kemane aje lo, Put? Kebanyakan baca 'handout' doang kali ye? Wkwkwkwk 

Ini saya kutip satu quote dari Adler
“Trust only movement. Life happens at the level of events, not of words. Trust movement.” 
― Alfred Adler

Ayo, untuk jadi sukses, mari kita beraksi (jangan kebanyakan omong doang ya). Mari belajar lagi!




Saya tak pernah tahu rasanya dijajah,
Maka saya tak bisa membayangkan nyeri yang melanda ketika rumah yang dibangun dengan susah payah dibuldoser dengan paksa; pergi dan terusir dari tanah kelahiran dan tak tahu lagi kemana harus melangkah.

Saya tak pernah tahu rasanya diblokade,
Maka saya tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya mencari air untuk melepaskan dahaga; menjelajahi pengapnya terowongan yang minim udara demi mengenyangkan keluarga; menyiasati penerangan dan pemanfaatan hanya dengan pasokan listrik yang seadanya.

Saya tak pernah tahu rasanya dibombardir,
Maka saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya mendengar dentuman bom yang jatuh bertubi-tubi; merasakan kerapuhan melihat hancurnya tubuh orang yang dicintai.

Maka setelah tidak ada seujung kuku pun saya mengalami derita yang dirasakan rakyat Palestina, khususnya Gaza, masih pantaskah saya menilai bahwa ini salah Hamas semata?

Setelah pembantaian Sabra Shatila, Jenin yang membara, ribuan pengungsi yang terlunta, dan tentu saja Aqsa yang masih tersandera lantas saya bersuara "Hei, Israel kan hanya membela diri, siapa suruh Hamas 'caper' ngirim roket ke wilayahnya?"


*Tulisan ini dibuat atas kesakit-hatian yang saya rasakan melihat komentar yang entah saya anggap tidak berimbang atas apa yang sekarang terjadi di jalur Gaza
NewerStories OlderStories Home