Showing posts with label ilmu. Show all posts
Showing posts with label ilmu. Show all posts


sumber: kolombatasa.co.id


Ceritanya saya lagi kesambet pengin nulis hasil refleksi dari ikutan kelas di coursera, kelas tentang “The Clinical Psychology of Children and Young People”. Nah, kebetulan udah masuk minggu ke-empat, minggu yang ngebahas seputar remaja dan seabreg permasalahan yang dihadapinya. 

Lecture dimulai dengan menanyakan pendapat beberapa orang, sebenarnya umur berapa sih bisa dikategorikan remaja? Jawabannya bervariasi, ada yang bilang umur 12 ke atas, 13-17, dsb. Lalu pertanyaan dilanjutkan, mau gak ngulang masa remaja? Dan, jeng..jeng.... semua orang yang ditanyakan kompak menjawab ENGGAK MAU. Well, kenapa gitu pada gak mau ngulang masa remaja? Beberapa bilang masa remaja itu adalah masa yang penuh tekanan, akademik, hubungan dengan teman, tertekan sama guru, sama orangtua, bahkan masa rawan mengalami yang namanya bullying, stress sama penampilan, stress sama pendapat orang lain, dan sebagainya, dan sebagainya.

Iya juga sih, kalo saya ditanya kek gitu juga jawaban saya BIG NO, hahaha. Pasalnya saya juga pernah ngalamin rasanya tersingkir atau diremehkan sama teman waktu SMP, diremehkan karena saya berasal dari keluarga menengah ke bawah (nyahaha, sakit hati banget waktu itu ampe nangis). Makannya saya gak mau ngulangin masa-masa itu, huhu.

Oke, itu tadi sekedar curcol, mari kita lanjutkeun. Jadi sebenernya umur berapa sih yang dikategorikan remaja? Setelah buka buku Child Development karangan Laure E.Berk, ketemu deh tuh kalau katanya masa remaja itu berada di rentang umur 11-18 tahun (Ginian aja masa lupa sih lo, put? Hahaha). Masa remaja ini ternyata emang bener masa rawan, kenapa? Karena masa remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Ada tiga hal yang diperhitungkan pada masa ini, yaitu perubahan fisik, perkembangan otak, dan juga hubungan antarpribadi. Yuk mari kita bahas satu-satu.

Perubahan fisik, pastinya udah tau donk apa-apa yang terjadi di masa ini, yup perubahan fisik meliputi bentuk tubuh dan juga besarnya, hehe. Nah ternyata para peneliti masih berdebat apakah perubahan fisik ini akan berakibat pada self esteem dan body image remaja. Namun kalo kata para peneliti lagi, para remaja yang merasa bahwa pubernya (yang dia alami) lebih cepat atau telat, dan membandingkannya dengan peer groupnya maka para remaja inilah yang ditemukan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (atuhlah makannya gak usah dibanding-bandingin, nyak).

Untuk perkembangan otak, ternyata memang di masa remaja otak juga mengalami perkembangan loh. Mungkin kita pernah melihat (atau mengalami, hihi) para remaja yang bertindak impulsif, berani mengambil risiko, serta emosinya yang meledak-ledak. Nah, ternyata menurut penelitian neuroscience¸ prefrontal cortex-nya remaja memang belum berkembang sempurna dan memang belum terkoneksi dengan baik (prefrontal cortex pada otak orang dewasa adalah bagian yang membantu menjaga perilaku yang mengarahkan pada tujuan, orientasi masa depan, menenangkan emosi yang meluap, dan juga mempertimbangkan perilaku berisiko yang kita lakukan). So, karena memang belum berkembang dan berkoneksi sempurna, makannya para remaja ini menemui kesulitan untuk mengatur hal-hal ini.

Perubahan fisik dan perkembangan otak ini juga mengarahkan hubungan antarpribadi remaja, baik pada keluarga maupun peer. Perkembangan hubungan antarpribadi ini emang menjadi tahap kunci pada perkembangan di masa remaja. Remaja menjadi lebih berorientasi pada peer-nya, individuate dan memisahkan diri, merasa lebih mandiri dari keluarga mereka, dan membentuk identitas diri. Hubungan antarpribadi ini juga menjadi titik kritis karena beberapa kerentanan dan resiliensi psikologis juga terlahir dari sini. Jadi, memang masa remaja merupakan masa menantang terhadap hubungan interpersonal, baik terhadap keluarga, institusi seperti sekolah, dan berbagai konteks yang dihadapinya. Juga masa remaja merupakan masa perjuangan terhadap identitas, konformitas, dan juga keberbedaan (dari yang lain) –dan juga kekhawatiran tentang bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya dalam situasi sosial. Dari semua tantangan yang dihadapi remaja tersebut, bagi yang mampu melewatinya maka ia akan memiliki kesehatan mental yang baik. Namun, bagi yang tidak maka permasalahan kesulitan kesehatan mental akan menghampiri remaja, beberapa yang umum di antaranya adalah depresi, cemas, gangguan makan, dan juga psikosis. Hal ini akan dibahas lebih lanjut kalau saya tiba-tiba kesambet pengin nulis lagi, hahaha (padahal emang belum dipelajarin :p).

Oke, sekedar penutup dari tulisan ini. Jadi ceritanya saya juga menanyakan ke pak suami pertanyaan “Mau gak ngulang masa remaja?”. Jawaban dia juga sama, “enggak”. Terus saya tanya lebih lanjut, emang dulu masalah apa gitu yang dihadapin? Doi jawab “Apa ya? Enggak ada deh keknya, hmm, sering pindah sekolah aja sih, sempet culture shock, tapi ya enggak gimana-gimana, sebentar aja terus baik-baik lagi”. Terus saya komen “Et dah, lempeng amat a’, hahaha”. Eh ternyata doi lanjut, “Oh ya, salah satu alasan gak mau balik lagi, soalnya kalo sekarang udah ditemenin adek”. (Saya: pasang emot -_-“).

Semoga bermanfaat, paragraf terakhir diabaikan saja ya... :D

Assalamu'alaikum semuanya....

Ini ceritanya saya mau lanjutin cerita dari Pascasarjana UGM #1. Nah dua syarat utama untuk mendaftar di pascasarjana UGM adalah punya sertifikat psikotes Bappenas atau psikotes yang diadain oleh UGM sendiri, namanya PAPs. Selain itu juga udah harus punya sertifikat tes bahasa Inggris macam TOEFL, IELTS, atau bisa juga ikutan tes di FEB UGM, namanya AcEPT.

Sebelum tahun 2014, dua tes ini sudah menjadi satu dengan rangkaian tes dan wawancara ujian masuk UGM, namun tahun ini (2014) dibuat berbeda. Ada untungnya juga sih prosedur tahun 2014, yaitu harus udah punya nilai psikotes dan tes bahasa Inggris. Untungnya adalah kita bisa ambil tesnya jauh-jauh hari sebelum tanggal pendaftaran, jadi hasilnya ketahuan apakah udah memenuhi syarat atau belum. Kalau belum memenuhi standarnya, bisa coba terus. Kalau sudah berhasil memenuhi nilainya, paling enggak kita udah 75% deh mantep. Tinggal nanti jalanin tes wawancara atau tes kekhususan lainnya kalau ada.

Nah, waktu itu saya sendiri mulai ikutan ITP bulan April 2014. Itu sih karena suami saya udah gemes banget, sebenernya nyuruhnya udah dari jaman dahulu kala (lebay :p). Saya ngambil tes ITP-nya di ELTI Jogja. Kalo gak salah ada beberapa tempat penyelenggaran tes ITP ini. Di FEB UGM juga ada deh kalo gak salah. Oh ya, kemarin saya bayar Rp. 300.000 deh buat ikutan tes ini (maap lupa). Nah kalo emang mau lebih murah, bisa ikutan AcEPTnya UGM, bayarnya Rp. 125.000 aja kalo gak salah. Tapi kalo emang niat mau daftar beasiswa sih saya saranin ikutan ITP aja, soalnya ini bisa dipake buat daftar ke berbagai macam institusi. Mahal dikit gak apalah.

Persiapan ikutan ITP saya jalanin selama dua minggu. Tiap pagi sebelum kerja saya coba ngerjain soal-soal grammar. Nah hari sabtu dan minggu baru digeber semuanya, dari listening, grammar, juga structure. Maklumlah ini tes formal pertama yang saya ikutin, jadinya agak cemas sebenernya, dan salah satu coping nya ya dengan belajar :p.

Nilai tes keluar seminggu kemudian. Alhamdulillah nilai saya di atas 500 lebih sedikit. Masih kurang puas sih sebenernya, huhu. Salah satu yang saya sesalkan ikut tes kemarin adalah saya ikut yang tes-nya malam. Udah capek seharian kerja jadinya cuma ngerjain dengan sisa-sisa energi deh, hiks (alasan ini mah sebenernya). Oh ya karena di persyaratan UGM diminta dua salinan untuk nilai tes bahasa Inggris dan psikotest, mending pas nerima hasilnya buru-buru di legalisir deh, soalnya legalisir makan waktu sekitar dua minggu. Biayanya Rp. 250.000 untuk dua salinan. Mahal sih sebenernya, tapi ya mau gimana lagi, hiks.

Nah kalo untuk PAPs bisa daftar di psikologi ugm. Coba aja cek webnya, nanti keliatan jadwalnya ada tanggal berapa aja. Saya sih saran kalo bisa ikutannya di weekend. Ga tau rasanya lebih rileks aja. Kalo oto Bappenas juga bisa dilihat di webnya ya. Kalo seumpama UGM terjangkau dari tempat domisili, saya sih saran ikutan PAPs aja soalnya lebih murah (PAPS 125.000 vs oto Bappenas 400.000). Untuk persiapan PAPs keknya saya belajar sekitar dua minggu juga deh (eh, lebih denk keknya). Mirip lah sama strategi waktu ITP. Tapi enggak tau kenapa tes PAPs ini bikin deg-degan. Mungkin karena ngeliat soal-soal di psikotes Bappenas yang bikin kening berkerut kali ya, hahaha. Emang kerasa lebih menekan karena susyeee. Oh iya, saya belajarnya pake buku persiapan tes oto Bappenas. Ya, namanya juga psikotes, soal-soalnya miriplah. Eh tapi di PAPs UGM, ada soal macam diagram ven gitu sih. Jadi ada pernyataan yang mesti kita gambarkan dengan gambar himpunan bulatan (macam diagram ven-lah).

Hasil dari PAPs akan diumumkan di web-nya juga. Tanggal pengambilannya juga nanti diumumin di webnya. Untuk ngelegalisirnya PAPs ini butuh waktu sekitar dua hari sejak fotocopyan sertifikat aslinya diserahkan ke bagian tata usaha psikologi UGM. Jadi ya abis nerima sertifikat aslinya kita mesti copy sendiri (saya waktu itu bikin lima, kalo gak salah emang minimal lima deh). Di psikologi UGM sayangnya ga ada tukang fotocopy, jadi kamu harus nyebrang ke FISIP dulu. Abis itu bayar ke bagian keuangan (@ Rp. 2500, karena saya legalisir lima maka bayar Rp. 12.500). Terus kasih deh fotocopyan kita ke bagian TU. Bagian keuangan dan TU ini ada di gedung A. Balik lagi dua hari setelahnya untuk ngambil legalisirnya. Agak rempong sih buat yang gak domisili di Jogja :(.

Oke deh segini aja dulu ya. Oh ya tadi kan di atas saya nyebutin enaknya tes TOEFL ITP dan PAPS ga masuk rangkaian UM UGM adalah kita bisa coba terus sampai memenuhi standar persyaratan. Nah, ga enaknya adalah rempong booo, hahaha. Iyalah, ini beruntung aja saya berdomisili di Jogja setahun terakhir ini. Coba kalo di luar Jogja, mesti bolak-balik berapa kali itu, :D.

Eh lupa, Alhamdulillah nilai tes PAPs saya sekali coba sangat memenuhi persyaratan buat daftar. Padahal bada' tes saat ditanya sama pak suami saya cuma bisa pasrah dan bilang "gak tau deh, semoga nilainya memenuhi (syarat)".

Kemudahan tes ITP dan PAPs yang saya jalanin gak lain karena doa dari keempat orangtua, dukungan luar biasa yang diberikan pak suami (yang ngebombardir saya tiap weekend dengan kata-kata "Ayo, Dek belajar" dan dengan semangatnya ngajak saya ke platinum -internet cafe- biar saya ga kegoda sama kasur), dan juga dengan persiapan serta doa yang saya lakukan. Terlebih lagi ni karena kehendak Allah yang memudahkan semua prosesnya, Alhamdulillah.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya....



Baca postingan ini di page Gamis Syar'i Makkah langsung mberes mili:


Aku sudah lulus dari kuliah dan sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Lamaran kepada diriku untuk menikah juga mulai berdatangan, akan tetapi aku tidak mendapatkan seorangpun yang bisa membuatku tertarik.
Kemudian kesibukan kerja dan karir memalingkan aku dari segala hal yang lain. Hingga aku sampai berumur 34 tahun.
Ketika itulah aku baru menyadari bagaimana susahnya terlambat menikah.
Pada suatu hari datang seorang pemuda meminangku. Usianya lebih tua dariku 2 tahun. Dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku ikhlas menerima dirinya apa adanya.
Kami mulai menghitung rencana pernikahan. Dia meminta kepadaku photo copy KTP untuk pengurusan surat-surat pernikahan. Aku segera menyerahkan itu kepadanya.
Setelah berlalu dua hari ibunya menghubungiku melalui telepon. Beliau memintaku untuk bertemu secepat mungkin.
Aku segera menemuinya. Tiba-tiba ia mengeluarkan photo copyan KTPku. Dia bertanya kepadaku apakah tanggal lahirku yang ada di KTP itu benar?
Aku menjawab: Benar.
Lalu ia berkata: Jadi umurmu sudah mendekati usia 40 tahun?!
Aku menjawab: Usiaku sekarang tepatnya 34 tahun.
Ibunya berkata lagi: Iya, sama saja. Usiamu sudah lewat 30 tahun. Itu artinya kesempatanmu untuk memiliki anak sudah semakin tipis. Sementara aku ingin sekali menimang cucu.
Dia tidak mau diam sampai ia mengakhiri proses pinangan antara diriku dengan anaknya.
Masa-masa sulit itu berlalu sampai 6 bulan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi melaksanakan ibadah umrah bersama ayahku, supaya aku bisa menyiram kesedihan dan kekecewaanku di Baitullah.
Akupun pergi ke Mekah. Aku duduk menangis, berlutut di depan Ka'bah. Aku memohon kepada Allah supaya diberi jalan terbaik.
Setelah selesai shalat, aku melihat seorang perempuan membaca al Qur'an dengan suara yang sangat merdu. Aku mendengarnya lagi mengulang-ulang ayat:
(وكان فضل الله عليك عظيما)
"Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar". (An Nisa': 113)
Air mataku menetes dengan derasnya mendengar lantunan ayat itu.
Tiba-tiba perempuan itu merangkulku ke pangkuannya. Dan ia mulai mengulang-ulang firman Allah:
(ولسوف يعطيك ربك فترضي)
"Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas". (Adh Dhuha: 5)
Demi Allah, seolah-olah aku baru kali itu mendengar ayat itu seumur hidupku. Pengaruhnya luar biasa, jiwaku menjadi tenang.
Setelah seluruh ritual umrah selesai, aku kembali ke Cairo. Di pesawat aku duduk di sebelah kiri ayahku, sementara disebelah kanan beliau duduk seorang pemuda.
Sesampainya pesawat di bandara, akupun turun. Di ruang tunggu aku bertemu suami salah seorang temanku.
Kami bertanya kepadanya, dalam rangka apa ia datang ke bandara? Dia menjawab bahwa ia lagi menunggu kedatangan temannya yang kembali dengan pesawat yang sama dengan yang aku tompangi.
Hanya beberapa saat, tiba-tiba temannya itu datang. Ternyata ia adalah pemuda yang duduk di kursi sebelah kanan ayahku tadi.
Selanjutnya aku berlalu dengan ayahku.....
Baru saja aku sampai di rumah dan ganti pakaian, lagi asik-asik istirahat, temanku yang suaminya tadi aku temui di bandara menelphonku. Langsung saja ia mengatakan bahwa teman suaminya yang tadi satu pesawat denganku sangat tertarik kepada diriku. Dia ingin bertemu denganku di rumah temanku tersebut malam itu juga. Alasannya, kebaikan itu perlu disegerakan.
Jantungku berdenyut sangat kencang akibat kejutan yang tidak pernah aku bayangkan ini.
Lalu aku meminta pertimbangan ayahku terhadap tawaran suami temanku itu. Beliau menyemangatiku untuk mendatanginya. Boleh jadi dengan cara itu Allah memberiku jalan keluar.
Akhirnya.....aku pun datang berkunjung ke rumah temanku itu.
Hanya beberapa hari setelah itu pemuda tadi sudah datang melamarku secara resmi. Dan hanya satu bulan setengah setelah pertemuan itu kami betul-betul sudah menjadi pasangan suami-istri. Jantungku betul-betul mendenyutkan harapan kebahagiaan.
Kehidupanku berkeluarga dimulai dengan keoptimisan dan kebahagiaan. Aku mendapatkan seorang suami yang betul-betul sesuai dengan harapanku.
Dia seorang yang sangat baik, penuh cinta, lembut, dermawan, punya akhlak yang subhanallah, ditambah lagi keluarganya yang sangat baik dan terhormat.
Namun sudah beberapa bulan berlalu belum juga ada tanda-tanda kehamilan pada diriku. Perasaanku mulai diliputi kecemasan. Apalagi usiaku waktu itu sudah memasuki 36 tahun.
Aku minta kepada suamiku untuk membawaku memeriksakan diri kepada dokter ahli kandungan. Aku khawatir kalau-kalau aku tidak bisa hamil.
Kami pergi untuk periksa ke seorang dokter yang sudah terkenal dan berpengalaman. Dia minta kepadaku untuk cek darah.
Ketika kami menerima hasil cek darah, ia berkata bahwa tidak ada perlunya aku melanjutkan pemeriksaan berikitnya, karena hasilnya sudah jelas. Langsung saja ia mengucapkan "Selamat, anda hamil!"
Hari-hari kehamilanku pun berlalu dengan selamat, sekalipun aku mengalami kesusahan yang lebih dari orang biasanya. Barangkali karena aku hamil di usia yang sudah agak berumur.
Sepanjang kehamilanku, aku tidak punya keinginan mengetahui jenis kelamin anak yang aku kandung. Karena apapun yang dikaruniakan Allah kepadaku semua adalah nikmat dan karunia-Nya.
Setiap kali aku mengadukan bahwa rasanya kandunganku ini terlalu besar, dokter itu menjawab: Itu karena kamu hamil di usia sudah sampai 36 tahun.
Selanjutnya datanglah hari-hari yang ditunggu, hari saatnya melahirkan.
Proses persalinan secara caesar berjalan dengan lancar. Setelah aku sadar, dokter masuk ke kamarku dengan senyuman mengambang di wajahnya sambil bertanya tentang jenis kelamin anak yang aku harapkan.
Aku menjawab bahwa aku hanya mendambakan karunia Allah. Tidak penting bagiku jenis kelaminnya. Laki-laki atau perempuan akan aku sambut dengan beribu syukur.
Aku dikagetkan dengan pernyataannya: "Jadi bagaimana pendapatmu kalau kamu memperoleh Hasan, Husen dan Fatimah sekaligus?
Aku tidak paham apa gerangan yang ia bicarakan. Dengan penuh penasaran aku bertanya apa yang ia maksudkan?
Lalu ia menjawab sambil menenangkan ku supaya jangan kaget dan histeris bahwa Allah telah mengaruniaku 3 orang anak sekaligus. 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
Seolah-olah Allah berkeinginan memberiku 3 orang anak sekaligus untuk mengejar ketinggalanku dan ketuaan umurku.
Sebenarnya dokter itu tahu kalau aku mengandung anak kembar 3, tapi ia tidak ingin menyampaikan hal itu kepadaku supaya aku tidak merasa cemas menjalani masa-masa kehamilanku.
Lantas aku menangis sambil mengulang-ulang ayat Allah:
(ولسوف يعطيك ربك فترضى)
"Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas". (Adh Dhuha: 5)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا )
"Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami..." (Ath Thur: 48)
Bacalah ayat ini penuh tadabbur dan penghayatan, terus berdoalah dengan hati penuh yakin bahwa Allah tidak pernah diam tidak akan pernah menelantarkanmu.
Repost dari group sebelah, diambil dari kisah nyata. Bila ada manfaatnya silahkan di-share. Jazakumullahu khairan.

Iya, insya Allah semua ada waktunya, ada jalannya, ada kesempatannya.... 

Diulang dan dipatri lagi di hati dalem-dalem:
(ولسوف يعطيك ربك فترضى)
"Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas". (Adh Dhuha: 5)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا )
"Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami..." (Ath Thur: 48)



Ada doa yang kini menjadi favorit saya: 

"Allahumma laa sahla illa maa ja'altahu sahlaa, wa anta taj'alul hazna idza syi'ta sahlaa"

Artinya:[Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah]







Oke, setelah kemarin saya ngebahas soal keuntungan bilingual dsb, sekarang saatnya ngebahas gimana sih cara mengaplikasikan bilingual ?

Sebelum membahas tentang berbagai cara untuk membesarkan anak bilingual, ada baiknya orangtua memang menjawab pertanyaan dari to do list ini:
  1. Decide which languages are important to you, and why. Contohnya seorang ibu (di US) yang belajar bahasa Itali, menyukai keindahan bahasa Itali, dan menginginkan anaknya merasakan keindahan bahasa Itali. Lalu memutuskan untuk membesarkan anak dengan bahasa Itali (Ibu) dan Inggris (bapak).
  2. Identify your motives for (and your reservation about) bilingualism. Mengindentifikasi motif mengapa anak harus bilingual. Yang pasti bukan untuk sekedar gegayaan ya :D, karena motif ini yang akan selalu menggerakkan orangtua untuk konsisten ketika mengajarkan.
  3. Choose which language(s) you and your partner are going to speak to your child. Putuskan pilihan bahasa ayah dan ibu, biar gak mix dan tetap konsisten.
  4. Set a start date. Ini berpulang pada orangtuanya, tapi sedini mungkin jadi lebih baik :)
  5. Determine how proficient you hope your child will be in the second language. Poin ini penting karena menentukan juga metode serta waktu yang akan ditempuh dalam pendidikan.
  6. Do a reality check. Are you proficiency goal realistic for your family?
  7. Take into account that one language will be dominant. Mau gak mau pasti akan ada satu dominasi bahasa yang dimiliki anak. Hal ini bisa saja berakibat karena paparan dari satu bahasa melebihi dari bahasa yang lain.
Patut diperhatikan bahwa meskipun tidak ada periode krusial dalam mempelajari bahasa kedua, mempelajari bahasa kedua sedini mungkin akan memberikan keuntungan yang lebih baik (Ormrod, 2013).

Nah, itu hal-hal yang mesti di-clear-kan terlebih dahulu sebelum menerapkan bilingual. Sekarang, bagaimana sih penerapan metode dalam membesarkan anak bilingual?

Pernah nonton atau tau Nina in Japan? Itu salah satu video di youtube yang memperlihatkan praktek mengajarkan  dua bahasa pada anak, sang ayah yang memang native English, selalu berbahasa Inggris ketika berbicara pada Nina, sedangkan sang Ibu yang asli Jepang, berbicara bahasa Jepang. Istilah kerennya itu metode OPOL (One Parent One Language). Hasilnya? Nina mampu membedakan (dan tentu saja berbicara) dengan “bahasa ayah” dan “bahasa ibu”.

Metode OPOL ini memang metode yang paling dianjurkan dalam pengajaran dan penerapan bilingual. Beberapa keuntungannya, antara lain:

1. Lebih konsisten
2. Simple bagi orangtua untuk melakukannya
3. Sangat mudah menentukan batasan bahasa (anak mampu mendeteksi perbedaan bahasa untuk satu benda)
4. Secara natural anak mampu merespon ayah dan ibu dengan bahasa yang berbeda
5. Cara yang efektif mengajarkan dua atau lebih bahasa dengan baik.
6. Cara yang mampu membuat anak menerima input maksimum dari beberapa bahasa yang berbeda, karena orangtua dan anak memakai bahasa tersebut tidak masalah dengan kondisi, waktu, serta aktivitasnya.

Ada kemungkinan efek yang terjadi dengan menggunakan OPOL, yaitu anak akan mencampur antara bahasa ayah dan ibu. Menurut Steiner (2008), hal tersebut “sunatullah” terjadi. Akan tetapi semakin terkoneksinya neuron-neuron di otaknya, hal tersebut akan hilang sesuai dengan perkembangannya.

Kalau dilihat-lihat, metode OPOL memang merupakan metode yang paling efektif dalam membesarkan anak bilingual. Selain OPOL, ada juga beberapa cara dalam pembelajaran bilingual:
  • Menggunakan bahasa kedua hanya pada saat-saat tertentu saja, misal di weekend, waktu makan malam, dsb. Kekurangannya dalam metode ini jelas hasil yang didapatkan memang tidak terlalu efektif dan kemungkinannya anak tidak mengetahui batasan antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Menurut pendapat pribadi saya, metode ini hanya memang “hanya” sampai batas permukaan saja. Jadi jangan mengharapkan anak akan lancar di bahasa keduanya.
  • Menggunakan bahasa kedua di kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, misal berkebun, atau pada aktivitas yang tidak bergantung pada kemampuan kemahiran bahasa kedua (misal dalam kegiatan artmusic, dan olahraga). Setelah anak cukup terbiasa dan mahir dalam bahasa kedua (kita ambil contoh native Indonesia yang belajar bahasa Inggris),  selanjutnya anak dimasukkan ke dalam kegiatan yang memerlukan kemampuan bahasa Inggris lebih. Biasanya metode ini digunakan di sekolah-sekolah yang bahasa pengantarnya berbeda dengan bahasa murid pendatang. Contohnya sekolah dasar dengan bahasa pengantar Inggris, dan murid native Indonesia yang baru saja masuk.
Mengajarkan bahasa kedua bukan hanya sebatas kepada pembelajaran tata bahasa (grammar) yang melelahkan dan flash card. Akan tetapi seharusnya disinergikan dengan aktivitas keluarga yang menyenangkan. Pemberian motivasi untuk mempelajari bahasa kedua dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang menarik dan juga relevan dengan keseharian anak.

Mengunjungi tempat-tempat yang menggunakan bahasa kedua, dapat meningkatkan kepercayaan diri dan pengetahuan pada anak. Misalnya dalam buku Naomi Steiner, seorang anak yang menggunakan bahasa Inggris (Ibu) dan juga mempelajari bahasa Swedia (Ayah). Ketika mengunjungi Swedia, anak ini surprised  "Wah, ternyata di sini semua pake bahasa Ayah". Hal-hal seperti ini yang akan membuat anak paham bahwa apa yang ia pelajari akan berguna di bagian bumi yang lain. Nah, ketika anak sudah memahami dan sudah relate dengan hal ini, maka anak akan merasa lebih bersemangat dalam mempelajari bahasa keduanya. 

Selain metode-metode pengajaran tersebut, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat proses bilingual pada anak. Contohnya anak-anak Indonesia yang bertempat tinggal di USA akan lebih cepat menguasai bahasa Inggris karena “tercemplung” ke dalam lingkungan berbahasa Inggris. Nah, sebaliknya anak-anak Indonesia yang mencoba menerapkan bilingual  bahasa Inggris di rumah memiliki tantangan yang lebih besar karena eksklusifitas penggunaan bahasa Inggris yang hanya dilakukan di rumah dengan satu orangtua. Solusinya ya tadi, sesekali anak-anak perlu dicemplungkan (secara rutin bahkan lebih baik) dalam satu kegiatan atau komunitas yang orang-orangnya menggunakan bahasa Inggris. Misalnya tiap sebulan sekali ajak jalan-jalan ke luar negeri (hahaha, becanda). 

Apapun bahasa yang ingin dikuasai, yang patut menjadi perhatian penting adalah jangan sampai bahasa pertama (mother tongue) yang dimiliki menjadi hilang karena jarang dipakai. Seperti yang saya bilang dalam artikel sebelumnya, hal ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada generasi sebelumnya (kakek or nenek). Yah, jangan sampai jago bahasa asing tapi ketika berkunjung ke kampung halaman Ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal salah satu keuntungan dari anak yang bilingual adalah sebagai jembatan antar generasi dan juga antara budaya yang satu dengan yang lain.

Karena bahasa adalah budaya, use it or lose it.

Semoga bermanfaat :)

Sumber bacaan:
Ormrod, J. E., (2013). Educational Psychology: Developing Learners 8th International ed.North America: Pearson.
Steiner, Naomi., Hayes, S. L,. (2008). 7 Steps to Raising A Bilingual Child. New York: AMACOM.    


Ini ceritanya saya lagi “kerajinan” baca buku Educational Psychology yang baru aja dianter sama tukang ekspedisi. Pertama-tama tertarik soal topik speech and communication disorder, karena beberapa minggu yang lalu sempet ditanya mengenai hal ini, dan saya cuma bisa menjawab sekedarnya saja (karena lupa apa yang sebenarnya sudah saya pelajari). Semakin membolak-balik halaman buku tersebut, saya tiba-tiba tertarik mengetahui lebih dalam soal Bilingualism.

Awalnya mungkin saya termasuk pada pandangan bahwa “mengajarkan bahasa kedua itu lebih baik ketika anak sudah menguasai bahasa pertama”. Tidak salah memang, toh karena banyak pakar yang berbeda pendapat mengenai hal ini. Akan tetapi setelah saya membaca kalimat demi kalimat, kemudian saya bersepakat dengan apa yang dibilang Ormrod, “Although children who grow up in bilingual environments may initially have more limited vocabularies in each languages, research reveals clear long term advantages of Bilingualism”. 

Dalam perkembangannya, anak bilingual akan memiliki kesadaran dalam metalinguistik. Sebagai contohnya anak-anak bilingual mempunyai phonological awareness - kemampuan untuk mengenali perbedaan bunyi dalam satu kata- yang lebih baik. Contohnya di dalam bahasa Inggris mereka mampu mengenali perbedaan bunyi to, too, dan two. Awareness ini secara khusus penting dimiliki oleh anak-anak (preschooler dan kindergartener), karena langkah awal dalam belajar membaca adalah bagaimana kita mampu mendengar dan memecah kata ke dalam bunyi yang berbeda.

Beberapa keuntungan yang saya garis bawahi dari mengajaran bilingual kepada anak:
  • Kecenderungan menampilkan performa yang baik dalam tugas yang membutuhkan fokus perhatian dan flexible serta berpikir kreatif (Adesope et al., 2010 dalam Ormrod, 2013)
  • Superior performance tersebut kemungkinan diakibatkan karena perkembangan otak ketika mempelajari dua bahasa.
  • Bilingual bukan hanya sekedar mempelajari kata, tetapi bagaimana berpikir mengenai satu kata dengan beberapa cara. Contohnya frase “give birth” dalam English dan “dar luz” dalam Spanish. Kata “give birth” dalam English memiliki makna “sebatas” aktivitas fisik, namun kata “dar luz” dalam makna literally-nya memiliki arti “gives light”, yang bermakna memberikan cahaya dalam pengertian jiwa yang terlahir ke dunia bukan hanya berkat aksi fisik, namun juga terjadi perubahan spiritual dalam posisi menjadi seorang ibu.
  • Dalam komunitas, seorang anak bilingual akan bangga dengan bahasa warisan-nya. Dia juga akan menjadi jembatan antar generasi dan antara budaya satu dengan yang lain.
  • Dalam dunia global, seorang anak bilingual akan memiliki pandangan luas terhadap dunia. Kemudahan interaksi dengan berbagai budaya, dan tentunya juga sukses dalam kehidupan sosial di dua budaya yang berbeda.


Ternyata memang banyak ya keuntungan menjadi Bilingual. Bagaimana dengan efek buruk seperti speech delay yang banyak dihubungkan dengan mempelajari bilingual sejak dini? Menurut Steiner (2009), Lima sampai sepuluh persen dari anak-anak mengalami yang namanya speech delay. Jadi bisa jadi bukan karena bilingual-nya yang menyebabkan mereka mengalami hal tersebut.

Oh ya, satu hal lagi yang penting digaris bawahi, bahwa mempelajari bahasa kedua bukan serta merta menghilangkan kemampuan (yang mendalam) di bahasa pertama. Karena bagaimanapun mempelajari bahasa pertama memperlihatkan penghormatan kepada generasi sebelumnya. Jadi misalnya ketika mempelajari bahasa Inggris lantas tidak serta merta membuat mereka tidak bisa berkomunikasi (menggunakan bahasa Indonesia) dengan kakek nenek, atau keluarga besarnya.

Setelah membaca terkait hal bilingual ini setidaknya pandangan saya menjadi semakin luas. Yup, pandangan yang semula hanya bersumber dari “katanya”, kini sudah saya cari sendiri. Entah bagaimana keputusannya nanti terhadap cara membesarkan anak-anak kami (insya Allah), yang jelas hal-hal seperti ini (membaca dari sumbernya langsung) akan membuat saya menjadi lebih yakin pada saatnya nanti ketika mengambil keputusan (terkait pendidikan pada anak kami).

Oke, segini dulu kira-kira sharing mengenai bilingual. Di lain kesempatan saya akan coba meneruskan dengan menuliskan “How to raise a bilingual child”.
Semoga bermanfaat J.



Sumber:
Ormrod, J. E., (2013). Educational Psychology: Developing Learners 8th International ed. North America: Pearson.

Steiner, Naomi., Hayes, S. L,. (2008). 7 Steps to Raising A Bilingual Child. New York: AMACOM.   

1. Takut monster, hantu dan kegelapan

Mengurangi paparan terhadap cerita yang menakutkan (anak) baik dari TV maupun dari buku. Hal ini dilakukan sampai anak mampu membedakan antara yang "palsu" dan kenyataan. Kita juga bisa membuat aktivitas "pencarian" terhadap hal yang ditakutkan anak. Hal ini dapat memberikan pengertian kepada anak bahwa hal  yang ditakutkannya tidak ada/nyata. Saat tidur biarkan lampu menyala, temani sampai anak tertidur, dan selipkan mainan favoritnya sebagai "penjaga" anak ketika tidur.

2. Takut saat ditinggal di Pre-school atau Child Care

Jika anak menolak untuk pergi ke pre-school atau childcare, tetapi kita melihat sebenarnya anak menikmati saat-saat Ia berada di sana, kemungkinan hal yang sebenarnya ditakutkan adalah perpisahan dengan caregiver. Untuk mengatasi hal tersebut, berikan kehangatan dan kepedulian sehingga akan menimbulkan independence pada anak. Akan tetapi ketika anak takut pada sekolah/childcare-nya, kita harus mencari tahu apakah ketakutan tersebut diakibatkan oleh guru-gurunya, teman-temannya, atau lingkungannya yang bising. Berikan dukungan extra dengan cara mendampingi anak di sekolah/childcare-nya lalu secara bertahap kurangi waktu kehadiran Anda di sana.


 3. Takut pada Hewan

Jangan memaksa anak untuk mendekati anjing, kucing, atau hewan yang membangkitkan rasa takutnya. Biarkan anak mendekati hewan tersebut sesuai dengan keinginannya. Tunjukkan kepada anak bahwa ketika kita memegang dengan cara yang benar, hewan tersebut akan bersikap ramah kepada kita. Jika anak lebih besar dari hewan tersebut, tekankan padanya "Hmm, sepertinya justru kitty yang takut sama adek, karena adek badannya lebih besar dari kitty".



4. Ketakutan yang Sering Terjadi

Jika ketakutan anak sangat sering, bertahan lama, mengganggu kegiatan sehari-hari, dan tidak dapat dikurangi dengan berbagai cara yang disarankan, ketakutan tersebut telah sampai pada tahap phobia. Terkadang  phobia terkait dengan permasalahan yang terdapat di dalam keluarga, dan konseling sangat diperlukan untuk mengurangi phobia ini. Di lain waktu, phobia dapat berkurang tanpa pengobatan dikarenakan meningkatnya kapasitas regulasi-diri anak.




Sumber: Child Development, Berk E. Laura, 2012

Rasanya pengin deh setiap hari nulis tentang pelajaran apa saja yang saya dapatkan saat saya mengajar murid-murid saya mengaji. Jelas pengalaman-pengalaman ini akan menjadi bekal saat saya mendidik anak-anak saya nanti Insya Allah. Berikut beberapa hal yang kemarin-kemarin ini terjadi.

* F tadinya sangat sulit untuk "diajak" belajar sesuai dengan jadwal yang sudah saya tentukan. Ia masih berpikir bahwa saat saya artinya adalah saatnya kita main bersama, haha. Wajar mungkin karena di awal saat pendekatan dengannya, terlebih dahulu saya akan bermain sekitar sepuluh menit bersamanya, tapi seringnya sih lebih dari sepuluh menit :p. Walhasil saat saya datang, Ia selalu berujar "Can we play just 10 minutes?".

Nah, untuk tahun ini saya ingin sedikit merubah kebiasaan tersebut. Mainnya tetep, tapi saya ingin menaruhnya di akhir saja setelah pelajaran usai. Karena jika ditaruh di awal maka saat mengaji pun ia tetiba bisa saja mengambil boneka angry birdnya dan melanjutkan permainan pretend play-nya. Awal merubah ini terasa sulit memang. Ia cenderung tipe yang "sensitif". Jadi kalo dia tiba-tiba gak suka sama perlakuan saya, langsung ngambek deh gak mau ngelanjutin baca qiraatinya. Pernah suatu waktu selama satu jam saya dibuat senewen, membujuknya untuk membaca qiraati selesai satu halaman saja :D. Biasanya dia mengeluarkan kata-kata "I don't like you, tante Puti". Kalau sudah begini wih saya harus pintar-pintar membujuknya.

Alhamdulillah tapi sekarang perlahan ia mulai berubah. Di awal tahun ini saya mencoba bersikap agak "keras" untuk tidak memberinya waktu main bersama sebelum ia selesai membaca qiraati. Berhasil memang dengan sikap "keras" saya ini, tapi yaitu saya masih harus menghadapi fase-fase ngambeknya dia.

Saya kemudian mencoba menerapkan cara lain. Saya memberinya timing dua puluh menit untuk menyelesaikan membaca satu halaman. Jika dia berhasil melakukannya, maka saya akan memberikan satu "Smiley Star" untuknya. Dan, ternyata itu berhasil saudara-saudara. Total waktu yang ia perlukan untuk membaca hanya sekitar 9-11 menit sahaja :D.


* K, murid baru Saya. Murid perempuan saya satu-satunya untuk saat ini. Jelas, sangat berbeda pendekatan mengajarnya dengan dua murid saya yang lain. Cenderung "nurut" dan mudah diatur. Akan tetapi kemarin akhirnya saya menghadapi saat dimana ia "mogok" tidak mau belajar mengaji, haha. Ceritanya sebelum ngaji Ia sedang menonton film kartun Mr.Bean. Saya memintanya untuk mem-Pause film tersebut dan boleh dilanjutkan setelah selesai ngaji. Ternyata di lima belas menit terakhir, saat saya sedang menjelaskan etika makan dengan bahasa Inggris, tiba-tiba adiknya tanpa sengaja mematikan laptop yang memuat film Mr.Bean tadi. Apa yang terjadi?  Ya tentunya si Kaka ngamuk ke adiknya, dan pada akhirnya ngambek dipojokkan.

Huff, padahal sebelumnya saya sudah prepare menjelaskan penjelasan ini dengan Bahasa Inggris. Saya sudah cukup PD bisa menarik perhatiannya dengan penjelasan saya. Tapi e... gak taunya ada kejadian semacam ini. Saya gak pernah ngebayangin akan seperti ini. Meskipun presentasi menggunakan bahasa Inggris saya kurang begitu berhasil, tapi saya jadi belajar bagaimana cara membujuk Kakak yang ngambek agar mau balik belajar lagi.

Haha, iya mengajar itu memang selalu dipenuhi ketidak-terdugaan :D


*B, Si Abang yang satu ini sebenarnya termasuk ke dalam tipe "penurut". Cuma ternyata ditengah-tengah ngaji dia suka tetiba loncat-loncat atau jalan ke sana kemari :D. Sama sepeti F, saya menerapkan metode timing untuknya. Karena umurnya yang memang lebih tua dua tahun dari yang lainnya, maka saya hanya memberi waktu 15 menit saja untuk membaca satu halaman qiraati. Nah, kalo giliran pas hafalan, saya membiarkannya loncat ke sana kemari deh, yang penting dia mengikuti dan mencoba mengingat apa yang saya katakan. Karena nampaknya si Abang termasuk ke dalam tipe kinestetik :D


Tentunya hal-hal tersebut hanya sebagian kecil dari apa yang terjadi saat mengajar. Saya bersyukur dengan keputusan saya tepat setahun yang lalu untuk mengikuti ujian menjadi Guru Qiraati (di sini untuk menjadi guru ngaji saja harus bersertifikat soalnya). Padahal awalnya saya takut mengikuti ujian ini. Di satu sisi takut karena ternyata banyak term-term tajwid dan juga perbedaan rule penulisan Al-Qur'an rasm Utsmani dan Imla'i (karena yang kita baca di Indo adalah Imla'i, sedangkan Singapur memakai rasm Utsmani). Di sisi lain saya yang baru berada di Singapur selama beberapa bulan dan pada saat itu belum mempunyai izin tinggal tetap, jelas saja takut dan tidak percaya diri menghadapi lingkungan dan orang-orang baru. Karena untuk mengikuti ujian ini, saya harus mengikuti kursus selama dua minggu. Untung saja ada beberapa orang indo yang juga ikutan, jadinya saya gak merasa "sendiri". Dan terlebih untung saja bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Malay :D.

Andai saja pada saat itu saya kalah oleh ketakutan itu, tentu saja pengalaman belajar dari F, K, dan B tidak akan pernah saya alami. Terima kasih Allah atas semua kesempatan ini. Dan jelas sekali saya belajar dari sebuah quotes ini:

"Kamu yang sekarang adalah keputusan kamu di masa lalu"

Yes, mulai sekarang saya akan mencoba belajar menaklukan ketakutan-ketakutan saya. Karena jikalau saya takut duluan, terntulah saya tidak akan pernah bisa belajar dan tidak akan pernah mengalami pengalaman-pengalaman yang selalu membuat saya lebih matang.

Terima kasih Allah atas segala kesempatan yang diberikan :)






OlderStories Home