Oke, setelah kemarin saya ngebahas soal keuntungan bilingual dsb, sekarang saatnya ngebahas gimana sih cara mengaplikasikan bilingual ?
Sebelum membahas tentang berbagai cara untuk membesarkan anak bilingual, ada baiknya orangtua memang menjawab pertanyaan dari to do list ini:
- Decide which languages are important to you, and why. Contohnya seorang ibu (di US) yang belajar bahasa Itali, menyukai keindahan bahasa Itali, dan menginginkan anaknya merasakan keindahan bahasa Itali. Lalu memutuskan untuk membesarkan anak dengan bahasa Itali (Ibu) dan Inggris (bapak).
- Identify your motives for (and your reservation about) bilingualism. Mengindentifikasi motif mengapa anak harus bilingual. Yang pasti bukan untuk sekedar gegayaan ya :D, karena motif ini yang akan selalu menggerakkan orangtua untuk konsisten ketika mengajarkan.
- Choose which language(s) you and your partner are going to speak to your child. Putuskan pilihan bahasa ayah dan ibu, biar gak mix dan tetap konsisten.
- Set a start date. Ini berpulang pada orangtuanya, tapi sedini mungkin jadi lebih baik :)
- Determine how proficient you hope your child will be in the second language. Poin ini penting karena menentukan juga metode serta waktu yang akan ditempuh dalam pendidikan.
- Do a reality check. Are you proficiency goal realistic for your family?
- Take into account that one language will be dominant. Mau gak mau pasti akan ada satu dominasi bahasa yang dimiliki anak. Hal ini bisa saja berakibat karena paparan dari satu bahasa melebihi dari bahasa yang lain.
Patut diperhatikan bahwa meskipun tidak ada periode krusial dalam mempelajari bahasa kedua, mempelajari bahasa kedua sedini mungkin akan memberikan keuntungan yang lebih baik (Ormrod, 2013).
Nah, itu hal-hal yang mesti di-clear-kan terlebih dahulu sebelum menerapkan bilingual. Sekarang, bagaimana sih penerapan metode dalam membesarkan anak bilingual?
Pernah nonton atau tau Nina in Japan? Itu salah satu video di youtube yang memperlihatkan praktek mengajarkan dua bahasa pada anak, sang ayah yang memang native English, selalu berbahasa Inggris ketika berbicara pada Nina, sedangkan sang Ibu yang asli Jepang, berbicara bahasa Jepang. Istilah kerennya itu metode OPOL (One Parent One Language). Hasilnya? Nina mampu membedakan (dan tentu saja berbicara) dengan “bahasa ayah” dan “bahasa ibu”.
Metode OPOL ini memang metode yang paling dianjurkan dalam pengajaran dan penerapan bilingual. Beberapa keuntungannya, antara lain:
1. Lebih konsisten
2. Simple bagi orangtua untuk melakukannya
3. Sangat mudah menentukan batasan bahasa (anak mampu mendeteksi perbedaan bahasa untuk satu benda)
4. Secara natural anak mampu merespon ayah dan ibu dengan bahasa yang berbeda
5. Cara yang efektif mengajarkan dua atau lebih bahasa dengan baik.
6. Cara yang mampu membuat anak menerima input maksimum dari beberapa bahasa yang berbeda, karena orangtua dan anak memakai bahasa tersebut tidak masalah dengan kondisi, waktu, serta aktivitasnya.
Ada kemungkinan efek yang terjadi dengan menggunakan OPOL, yaitu anak akan mencampur antara bahasa ayah dan ibu. Menurut Steiner (2008), hal tersebut “sunatullah” terjadi. Akan tetapi semakin terkoneksinya neuron-neuron di otaknya, hal tersebut akan hilang sesuai dengan perkembangannya.
Kalau dilihat-lihat, metode OPOL memang merupakan metode yang paling efektif dalam membesarkan anak bilingual. Selain OPOL, ada juga beberapa cara dalam pembelajaran bilingual:
- Menggunakan bahasa kedua hanya pada saat-saat tertentu saja, misal di weekend, waktu makan malam, dsb. Kekurangannya dalam metode ini jelas hasil yang didapatkan memang tidak terlalu efektif dan kemungkinannya anak tidak mengetahui batasan antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Menurut pendapat pribadi saya, metode ini hanya memang “hanya” sampai batas permukaan saja. Jadi jangan mengharapkan anak akan lancar di bahasa keduanya.
- Menggunakan bahasa kedua di kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, misal berkebun, atau pada aktivitas yang tidak bergantung pada kemampuan kemahiran bahasa kedua (misal dalam kegiatan art, music, dan olahraga). Setelah anak cukup terbiasa dan mahir dalam bahasa kedua (kita ambil contoh native Indonesia yang belajar bahasa Inggris), selanjutnya anak dimasukkan ke dalam kegiatan yang memerlukan kemampuan bahasa Inggris lebih. Biasanya metode ini digunakan di sekolah-sekolah yang bahasa pengantarnya berbeda dengan bahasa murid pendatang. Contohnya sekolah dasar dengan bahasa pengantar Inggris, dan murid native Indonesia yang baru saja masuk.
Mengajarkan bahasa kedua bukan hanya sebatas kepada pembelajaran tata bahasa (grammar) yang melelahkan dan flash card. Akan tetapi seharusnya disinergikan dengan aktivitas keluarga yang menyenangkan. Pemberian motivasi untuk mempelajari bahasa kedua dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang menarik dan juga relevan dengan keseharian anak.
Mengunjungi tempat-tempat yang menggunakan bahasa kedua, dapat meningkatkan kepercayaan diri dan pengetahuan pada anak. Misalnya dalam buku Naomi Steiner, seorang anak yang menggunakan bahasa Inggris (Ibu) dan juga mempelajari bahasa Swedia (Ayah). Ketika mengunjungi Swedia, anak ini surprised "Wah, ternyata di sini semua pake bahasa Ayah". Hal-hal seperti ini yang akan membuat anak paham bahwa apa yang ia pelajari akan berguna di bagian bumi yang lain. Nah, ketika anak sudah memahami dan sudah relate dengan hal ini, maka anak akan merasa lebih bersemangat dalam mempelajari bahasa keduanya.
Selain metode-metode pengajaran tersebut, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat proses bilingual pada anak. Contohnya anak-anak Indonesia yang bertempat tinggal di USA akan lebih cepat menguasai bahasa Inggris karena “tercemplung” ke dalam lingkungan berbahasa Inggris. Nah, sebaliknya anak-anak Indonesia yang mencoba menerapkan bilingual bahasa Inggris di rumah memiliki tantangan yang lebih besar karena eksklusifitas penggunaan bahasa Inggris yang hanya dilakukan di rumah dengan satu orangtua. Solusinya ya tadi, sesekali anak-anak perlu dicemplungkan (secara rutin bahkan lebih baik) dalam satu kegiatan atau komunitas yang orang-orangnya menggunakan bahasa Inggris. Misalnya tiap sebulan sekali ajak jalan-jalan ke luar negeri (hahaha, becanda).
Apapun bahasa yang ingin dikuasai, yang patut menjadi perhatian penting adalah jangan sampai bahasa pertama (mother tongue) yang dimiliki menjadi hilang karena jarang dipakai. Seperti yang saya bilang dalam artikel sebelumnya, hal ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada generasi sebelumnya (kakek or nenek). Yah, jangan sampai jago bahasa asing tapi ketika berkunjung ke kampung halaman Ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal salah satu keuntungan dari anak yang bilingual adalah sebagai jembatan antar generasi dan juga antara budaya yang satu dengan yang lain.
Karena bahasa adalah budaya, use it or lose it.
Semoga bermanfaat :)
Sumber bacaan:
Ormrod, J. E., (2013). Educational Psychology: Developing Learners 8th International ed.North America: Pearson.
Steiner, Naomi., Hayes, S. L,. (2008). 7 Steps to Raising A Bilingual Child. New York: AMACOM.
0 comments:
Post a Comment