Disclaimer: Ini
merupakan catatan kesimpulan subjektif dari hasil diskusi di sebuah grup WA
(fathanwati) yang saya ikuti.
Jadi ceritanya bahasan diskusi pagi ini di grup fathanwati
agak berbeda dari biasanya, bisa dibilang agak berat lah ya. Apalagi kalo bukan
ngebahas tentang Pekan Kondom Nasional.
Bermula dari salah satu anggota yang melempar informasi
salah kaprah tentang pemahaman safe sex untuk
mencegah penyakit menular seksual (PMS), yang
mana safe sex yang benar adalah
berhubungan sex dengan pasangan RESMI dan setialah dengan pasangan, alih-alih
berhubungan free sex tapi aman (baca:
memakai kondom). Diskusi pun kemudian bergulir tentang apakah memang benar
kondom itu mampu mencegah PMS dan sudah tepatkah PKN di Indonesia?
Seorang anggota grup yang saat ini sedang menganbil
pendidikan master intervensi sosial di Psikologi UI mengemukakan beberapa hal
yang diketahuinya dari kuliah (hasil dari jurnal), yaitu:
- Terdapat ledakan kasus PMS di US yang terjadi saat musim panas. Disinyalir krn adanya ledakan jumlah turis dan pesta-pesta musim panas anak muda.
- Berdasarkan hal ini, para peneliti di sana mengambil jalan intervensi dengan membagikan kondom untuk menurunkan PMS yang terjadi.
- Dalam kasus US itu, pembagian kondom ternyata menjadi solusi yangg efektif. Apalagi melihat seks bebas di US jd norma yang diterima di sana.
- Jadi adalah benar, berdasarkan hasil penelitian bahwa pembagian kondom merupakan salah satu jalan untuk mengurangi resiko PMS saat aktivitas seksual sedang tinggi-tingginya saat summer.
Yang namanya penelitian terapan ternyata memiliki yang
namanya culture constraint. Free sex bukan norma yang diterima di sini.
Bahkan masuk kategori perbuatan "salah". Namun pada kenyataannya
kondom terbukti efektif untuk mengurangi resiko PMS. Pertanyaannya, sudah
tepatkah diadakannya PKN dengan cara membagi-bagikan kondom di Indonesia?
Pertama mari kita lihat tentang hierarki penanggulangan
AIDS:
- A –abstinen (tidak berhubungan seks, tidak nyuntik). Kalo gak mempan yaudah deh mesti B
- B – be faithful alias setia pada satu pasangan. Kalau tidak bisa setia maka
- C – Condom (Pakai kondom biar gak ketularan dan nularin orang lain)
Nah, dari hasil diskusi kami (dari kacamata saya), terdapat
beberapa poin:
- Membagikan kondom merupakan salah satu intervensi tingkah laku? Iya logis.
- Penting digarisbawahi bahwa terdapat orang-orang yang gak kena dengan kampanye ”no sex until married”. Nah orang-orang sepert inilah yang masuk ke dalam kategori high risk, dimana kategori umur peringkat pertama high risk adalah mereka yang berusia 22-29 tahun. Dan mungkin kondom merupakan “jalan akhir” untuk mengurangi resiko PMS.
- Terdapat pandangan bahwa “belief di intervensi negara, terlalu jauh”. Dan pemberian pendidikan tentang agama, moral, bahwa sex bebas itu dosa dsb masuk ke ranah belief. Butuh waktu, energi, biaya yang besar untuk mengintervensi satu negara dengan cara mengintervensi satu per satu belief warga negaranya, dan memang cukup sulit buat diintervensi. Makannya untuk orang-orang di poin 2, pembagian kondom merupakan “jalan akhir” untuk mencegah penularan PMS. Setidaknya itulah yang dilihat dari kacamata pengambil kebijakan. → konsekuensi: yuk dari sekarang kita edukasi adik atau anak-anak kita tentang hal ini
- Sebutlah kalo
bagi-bagi kondom di US itu dilaksanakan pas summer
berdasarkan hasil riset, nah kalo di Indonesia kenapa di pekan ini? Apa
pertimbangannya? Apakah hanya karena momentum peringatan hari AIDS sedunia?
Kenapa harus seminggu? Apakah tidak cukup dengan seremonial saja? (mungkin ada
yang bisa bantu jawab?
5. Kenapa bagiinnya gak langsung di area yang memang high risk? Lokalisasi misalnya. Sayang amat anggarannya kalo “cuma” dibagiin ke “sembarang” orang. Kalo kata Anita ibarat “beli tusuk gigi, belinya di restoran”.6. Terkait dengan informasi yang beredar tentang komen petugas yang ngebagiin bilang “boleh dicoba sama pacarnya, mas”. Itu valid gak ya? Soalnya saya dapetnya bukan dari sumber aslinya, hanya berdasar testimoni dari anak UGM (iya, itu siapa?).7. Terakhir, kebijakan kampanye PKN dengan majang foto dengan sex appeal yang seperti itu di bus yang akan berjalan di jalan raya, tepat? Ini jelas menurut saya salah. Kalo emang kampanye untuk mereka yang high risk (lihat poin 2) rasanya foto macam ini bener-bener gak tepat sasaran banget. Yang ada foto ini malah bisa dilihat sama anak-anak kecil yang ada di sekitarnya dan juga remaja-remaja tanggung. Iih, kan bahaya.
Jadi kesimpulan yang saya bisa saya ambil
dari diskusi mengenai PKN ini adalah eksekusi dari kebijakan pembagian/
sosialisasi kondom ini yang rasanya kebablasan.
Yang ada malah kondom dipandang negatif
pake banget, padahal kan ya manfaatnya juga ada, seperti yang tadi disebut di
atas, juga untuk program mengatur jarak kehamilan misalnya (atau KB misalnya).
Oke segini aja kesimpulan dari kacamata
saya. Hal ini ditulis semata-mata agar kita gak
asal reaktif saat menanggapi masalah.
Terima kasih kepada fathanwati atas diskusi
berat di pagi hari tadi. Wabilkhusus kepada Jayaning Hartami yang setidaknya
sudah mencerdaskan saya pagi ini. (rekomen banget ini si Tami buat dijadiin
staf ahli pengambil kebijakan, :D).
Mohon maaf kalo ada salah-salah kata. Mari
diskusi dengan bahasa yang santun dan baik.
0 comments:
Post a Comment