Mengumpulkan yang Terserak


27 Oktober 2011

Dahulu aku tak pernah menyangka akan menikah di usia 21 tahun. Pun sebenarnya bayangan nikah muda itu telah ada semenjak aku remaja. Saat booming-boomingnya buku Salim A. Fillah yang bercerita tentang romantisme indahnya pernikahan usia muda, aku pun juga bermimpi akan menikah di usia muda, bahkan jikalau bisa menikah saat masih berstatus sebagai mahasiswa. Alhamdulillah, Allah pun kemudian mengabulkan pintaku. Aku disandingkan dengan jodohku di usia 21 tahun, tepat 2 bulan sebelum genap berusia 22 tahun, dan juga masih berstatus sebagai mahasiswa .

Usia 21 tahun masih dipandang sebagai usia yang amat muda untuk menikah. Orang pun kadang masih menyangsikan kesanggupanku menikah. Aku tak ambil pusing. Toh yang tau diri ini siap atau tidak itu diriku sendiri, buat apa mendengar kata orang lain, begitu pikirku.

Entah karena begitu percaya diri aku bisa mengemban amanah ini, atau karena aku terpapar oleh teman-teman yang menikah muda, akhirnya aku pun mengambil keputusan itu. Tentu saja hal ini tak terlepas dari campur tangan Allah yang turut aku libatkan. Ya, dewasa itu memang sebuah pilihan. Teman-temanku yang menikah muda terlebih dahulu cuma berpesan bahwa keyakinan merupakan modal utama. Toh yang namanya belajar menjadi seorang istri akan terus berjalan sepanjang masa, bukan?

Peranku pun kemudian bertambah. Aku kini mempunyai status sebagai seorang anak, sebagai seorang mahasiswa, dan juga sebagai seorang istri yang ber-LDR (long distance marriage) dengan suaminya. Awalnya aku cukup shock membagi waktu antara tugas kuliah, bersilaturahmi dengan DUA orangtua, dan tentunya menjadi seseorang yang ada untuk suamiku. Untungnya dua orang temanku yang juga menikah muda (dan menjalani LDR) selalu setia berbagi keluh kesah denganku. Alhamdulillah semua dapat diatasi sampai pada waktu aku bisa hidup seatap dengan suamiku (di negeri orang).

Akan tetapi ternyata Allah telah mempersiapkan ujian lain dalam kondisi ideal (tinggal seatap dengan suami) ini. Ya, ujian yang benar-benar menguji kesabaran dan rasa kesyukuran kami. Tantangan demi tantangan yang harus hadapi di negeri orang ini semakin membuatku menginsyafi betapa tidak mudahnya menjadi seorang istri. Siapa yang sangka bahwa Allah akan menempaku di usia awal pernikahan kami dengan ujian seperti ini. 

Untungnya aku memiliki suami yang sabar membimbingku. Ya, Allah memang tau yang terbaik untukku. Dan lembaran-lembaran kisah penuh hikmah yang terserak itu kini akan ku coba rangkai menjadi kumpulan catatan kecil di sini. Semoga ini ternilai sebagai salah satu beban yang akan memberatkan timbangan kebaikanku


Alfizahra




NewerStories OlderStories Home

0 comments:

Post a Comment