Assalamu’alaikum, Calon Anakku.
Apa kabar, Nak kamu di sana? Kutulis surat ini untuk menggambarkan betapa rindunya aku akan hadirnya dirimu. Kita mungkin belum pernah saling tatap, apalagi bersentuhan. Akan tetapi, Nak aku yakin suatu saat nanti kita akan menjemput takdirNya dalam pertemuan itu. Dan izinkan aku menumpahkan bait-bait rinduku ini dalam secarik tulisan agar kelapangan terus menghampiriku dalam penantian menjemput hadirmu.
Jundi
Kusebut kau demikian, Nak karena kuingin dirimu kelak akan menjadi salah satu tentaraNya. Tak muluk-muluk Nak, cukup jadilah seorang Jundi yang tidak pernah mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.
Jun,
Dahulu sebelum aku menikah dengan ayahmu, aku membayangkan kau akan hadir tidak lama setelah masa pernikahan kami. Ah Jun, itu mauku tentu, tapi Allah punya rencana lain untuk kita. Sembilan bulan bilangan waktu bersama ayahmu telah berlalu. Allah masih menyimpanmu dalam rentang waktu yang tak pernah kami ketahui.
Jun,
Sembilan bulan telah aku lewati bersama ayahmu. Kini Aku merindumu, Nak. Merindu karena kelak engkaulah yang akan menemani hari-hariku untuk mendampingi ayahmu. Merindumu karena aku ingin engkau yang memecahkan keheningan dan kesepian saat ayahmu tengah berjuang menjemput rezekiNya.
Jun,
Dari sebelum menikah pun aku telah merindumu. Maka Jun, di bilangan bulan ini betapa besar rasa rinduku padamu. Bukan hanya aku yang merindukanmu. Sudah banyak pula orang-orang di sekitarku yang menanyakan keberadaanmu dalam rahimku.
Ah, Jun mungkin pertanyaan kehadiranmu pada awalnya kuanggap sebagai pertanyaan wajar bagi pasangan yang baru saja melewati beberapa bulan umur pernikahan. Akan tetapi, aku merasakan akhir-akhir ini pertanyaan itu justru menjadi “tekanan” tersendiri untukku. Aku tahu, Jun bukan maksud mereka seperti itu. Akan tetapi entahlah, Jun. Kuakui aku mungkin terlalu lemah sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang kehadiranmu justru semakin membuat relung hatiku menjerit.
Lalu kuadukan perasaan-perasaan itu pada ayahmu, Jun. Lelaki terbaik yang Allah sandingkan untukku. Bersykurlah aku karena ia dengan segala kesabaran dan kebijaksanaannya berhasil menenangkanku untuk terus bersabar dalam penantian akan hadirnya dirimu.
Ah Jun, tapi rupanya kata-kata ayahmu itu belum bisa sepenuhnya benar menenangkanku. Kecemasan itu masih ada, Jun. Kecemasan yang perlahan-lahan membuatku berprasangka buruk denga takdirNya. Namun tahukah, Jun, Allah rupanya masih sangat sayang pada bundamu ini. Rasa sayangnya tertuang lewat untaian tausiyah orang-orang pilihannya.
Pertama, dari seorang ibu yang bijaksana di Singapura. Saat itu dia bertemu denganku. Dan seperti biasa orang-orang yang bertemu denganku, pertanyaan tentang hadirmu terucap juga lewat lisannya. Mendengarnya aku langsung tertunduk, Jun dan dengan perlahan kubilang “Tau nih, belum Bu”. Melihat itu Ibu tersebut seolah tahu perasaanku, lalu ia berucap, “Atuh jangan gitu bilangnya. Harusnya bilang, doain aja ya Bu, semoga segera”.
Seketika aku tersadar, Jun. Ya, aku terlalu lemah sampai-sampai menganggap pertanyaan tentang hadirnya dirimu merupakan suatu beban untukku. Harusnya aku mengubah sudut pandangku, Jun. Ya, dengan menganggapnya sebagai suatu lantunan doa untuk menyegeranya kehadiranmu. Seperti kata salah seorang sahabatku, Jun bahwa kita tak pernah tahu doa siapa yang akan dikabulkan. Dan bisa jadi doa-doa orang yang tulus bertanya itulah yang menghantarkan hadirmu untuk segera berada dalam dekapan kami.
Tak hanya itu, Jun. Aku juga mengambil banyak pelajaran dari teman-teman yang telah berbilang tahun menanti kehadiran jundiNya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, bahkan tujuh tahun, Jun. Penantianku padamu jelas masih tak ada apa-apanya dibanding mereka. Satu kunci yang tak pernah mereka lupakan, Jun yaitu berbaik sangka dan benar-benar pasrah kepada Allah, sang pemilik para jundi.
Dan kasih sayang yang paling aku rasakan kedahsyatannya tercurah melalui lisan seorang ustadz yang aku dengar di kajian kampus kemarin. Ya, seakan Allah memang menakdirkanku untuk kembali sejenak ke tanah air. Ia menuntunku bertemu dengan nasihat indah dari lisan ustadz itu. Beliau berucap, ada empat hal yang bisa diusahakan seorang hamba untuk menjemput takdirnya. Pertama dengan sebaik-baik rencana. Kedua dengan sebaik-baik prasangka kepadaNya, ketiga dengan sebaik-baik ikhtiar, dan yang menjadi pamungkasnya adalah dengan sebaik-baik doa. Dan, Jun. aku sadar sama sekali aku belum mengusahakan yang terbaik bagi keempat hal tersebut. Aku bermimpi untuk menjadikanmu seorang yang bertaqwa kepadanya, ah jun tapi perilaku ibadahku masih belum mencerminkan sisi kehambaanku padaNya. Aku ingin menjadikanmu seorang hamba yang bergantung pada firmanNya, tapi Jun membaca firmanNya saja masih aku tempatkan dalam sisa waktu tiap harinya. Aku bermimpi Jun ingin menjadi ibu yang terbaik untukmu. Namun melihat persiapanku sekarang kuyakin mimpi itu hanya sekedar omong kosong belaka.
Kini aku sadar, Jun. Aku akan berusaha melayakkan diriku agar menjadi salah satu hambaNya yang pantas dititipkan dirimu. Ya Jun, aku akan belajar dari ketauhid-an bunda Hajar bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan seorang hamba yang beriman padaNya.
Dan pada saatnya kelak, Jun saat dimana tanda-tanda kehidupanmu mulai terlihat dalam diriku, aku sudah siap menjadi seseorang yang mampu membesarkan calon pemimpin seperti dirimu. Dan kuyakin waktunya akan berbanding lurus dengan persiapanku (dan tentunya ayahmu), Jun dalam mempersiapkan hadirnya dirimu. Aku berazzam, Jun tidak lama lagi. Ya, takdir terindahNya kelak akan mempertemukan kita di waktu yang tepat dan di saat yang pantas. Dan sampai saat itu, Nak semoga aku selalu menjadi seorang yang sabar dalam rentang takdirNya.
Sampai bertemu, Nak dalam batas waktu itu.
Seseorang yang selalu merindumu,
Ibumu.