Menikah, kata yang mulai ramai jadi perbincangan antara saya dan teman-teman (rohis) sewaktu SMA. Entah karena factor usia yang memang akan memasuki dewasa muda, pokoknya tema itu sering menjadi tema perbincangan kami (di mushala) J.
Dahulu, saya termasuk yang ‘teracuni’ oleh buku ‘nikmatnya pacaran setelah pernikahan’. Saya dulu membayangkan betapa bahagianya menikah di usia muda. Betapa bahagianya mencintai sesorang tanpa pernah ada terbersit perasaan bersalah. Kala itu saya hanya berpikir bahwa menikah menjanjikan madu yang tiada terkira.
Saat menjadi mahasiswa, tema menikah muda masih juga kuat di dalam benak saya. Terlebih ketika ada seorang teman yang menikah saat memasuki semester 4, menikah muda menjadi hal yang semakin saya impikan.
Beruntunglah saya karena Allah memberikan apa yang saya minta saat memasuki semester 8 perkuliahan. Allah mempertemukan saya dengan seorang laki-laki yang MAU menerima saya apa adanya. Seorang laki-laki yang dengan sabar menghadapi segala sifat kekanak-kanakan saya.
Sebelum menikah, saya berpikir semuanya akan mudah saya lakukan dengan cara learning by doing. Tapi ternyata saya masih harus sangat banyaaak..banyaaak belajar. Bahkan setelah menjalani pernikahan selama kurang lebih 7 bulan ini, saya merasa belum sepenuhnya bisa menjalankan peran sebagai seorang istri.
Ya, menikah memang bukan hanya merasakan manisnya madu, tapi juga harus bersiap menghadapi segala kerikil bahkan badai yang dahsyat. Ego yang harus ditengahi, mental yang harus siap mengabdi, kerelaan berkorban, ruhani yang tenang, pokoknya semuanya harus dipersiapkan dengan ‘matang’.
Lagi-lagi beruntung karena suami saya termasuk tipe penyabar dalam memberi tahu istrinya. Karena jujur saya saat ini merasa belum menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya.
You must study hard, Puti! Fighting! J
0 comments:
Post a Comment