Dialog Lara

Aku bertemu dengannya lagi. Kali ini dengan kondisi yang jauh lebih rumit dari sebelumnya. Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Ia masih sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.

Aku bingung bagaimana memulai pembicaraan dengannya. Terakhir kali di pertemuan itu aku sangat marah kepadanya. Tapi syukurlah karena akhirnya aku mampu berdamai dengannya.

Pertemuan kedua ini sangatlah berbeda. Tak ada perasaan marah sedikitpun padanya. Hanya, selaksa lubang hati yang telah tergali perlu segera kuobati, dan aku berharap dengan diaolog kecil padanya lubang itu dapat tertutupi.

"Hei Lara, apa kabar?" aku menyapanya. Lara menyunggingkan senyumnya padaku.

Lara mendekat kepadaku. Kini kami berhadapan dengan jarak hanya setengah meter. Tangan kanannya kemudian  memegang bahuku "Luapkan segala gundahmu." katanya padaku.

Ah, Lara kau seakan tahu apa yang ingin akan aku ungkapkan padamu. Sudut mataku mulai tergenang air. Dan sedetik kemudian bulir-bulir air luruh satu persatu lewatnya. 

Aku bingung harus memulai darimana "Aku... aku..." ucapku tertahan. Aku malah terisak. Melihat itu Lara kemudian memelukku. Seakan ia ingin berbagi beban dengannku.  

"Keluarkan saja semuanya..." bisik lara ke telingaku.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan bait-bait kekuatan untuk mengeluarkannya "Aku merasa gagal, Lara. Gagal menjadi seorang bidadari... Padahal dahulu... hal itu yang sangat aku inginkan." ungkapku terbata-bata.

Lara mengusap punggungku lalu berkata "Tidak ada kata terlambat, Kawan" ucapnya mencoba menenangkanku.

"Ah, kau tidak mengerti, Lara. Begitu banyak lubang di hatiku. Ia terus tergali tanpa pernah bisa aku mengendalikannya. Padahal aku tahu, Lara lubang itu sangat tak pantas ada. Aku bagaikan daun kecil yang hendak menyalahkan akarnya. Aku tahu itu tak pantas. Namun seakan kicauan iblis terus saja mengibaskan hatiku untuk semakin menggali lubang itu. Ah, aku bahkan mulai benci dengan diriku sendiri, Lara...." Aku tak sanggup melanjutkannya.Bulir air mata semakin deras mengalir dari sudut mataku.

Lara mengencangkan pelukannya. Seketika damai menyelimutiku kembali. Ah Lara, kau memang malaikatku.

"Sudahkah kau adukan ini pada penciptaMu?" tanya Lara padaku.

Aku terdiam. Pikiranku mencoba mengingatnya. Iya, akhir-akhir ini aku memang jarang melakukan komunikasi intensif denganNya.

"Aku memang tak pernah tahu apa yang bergejolak pada hatimu" ucap Lara kembali sambil terus memelukku "Tapi, penciptaMu pasti tahu apa yang bisa menenangkanmu. Ia akan memberimu jalan keluar, tapi tentu saja kalau kau memintanya dengan penuh kesungguhan." 

Aku melepaskan pelukannya padaku. Kini, kutatap wajah teduhnya. "Lara, entahlah.... aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Perasaanku bergejolak pada setumpuk hal. Aku tahu dunia ini tak pantas untuk dilenakan. Namun Lara, perasaan itu terus saja muncul. Rasa rindu terhadap hadirnya pucuk baru yang kemudian membuat iri terhadap rekanku yang sudah memilikinya. Rasa khawatir terhadap bilangan angka yang menari dalam hidupku, namun datangnya permitaan bakti itu terkadang membuat lubang hatiku semakin besar. Belum lagi perasaan tanpa daya yang terus saja menerpaku. Ah Lara, rasanya aku jauh...jauh... sekali dari impian untuk menjadi bidadari" aku kembali terisak didepannya.

Lara menyeka airmataku, ia menyunggingkan senyumnya yang paling damai. "Kesadaranmu itu sudah menjadi pondasi tersendiri untukmu, Kawan. Tinggal melebarkan sendi-sendi kesabaranmu, dan tentu saja menutup lubang-lubang hatimu dengan rimbunnya keikhlasanmu."

Ah Lara, kau selalu bisa mendamaikan diriku.

Aku merenung. Merenung tentang kemungkinan aku melakukan apa yang Lara ucapkan. Ah ya, rasanya aku pasti bisa melakukannya.

"Baiklah, aku akan mencobanya Lara. Bukan saja untuk diriku, terlebih ini untuk kedua orangtuaku." tekadku dalam hati. "Terima kasih, Lara karena engkau selalu bisa mendamaikan diriku."

Lara kembali menyunggingkan senyumnya. Aku yang berada dihadapnya pun seakan tersihir karena juga menyunggingkan senyuman kedamaian itu di dalam cermin.


http://craigstephens.blogspot.com/2007/10/mirror-ball-2-55x7.html

NewerStories OlderStories Home

0 comments:

Post a Comment