Al Insan 2



Manusia, kadang susah ditebak maunya apa. Dikasih satu kondisi, mengeluh, dikasih yang berlawanannya bisa-bisa tambah mengeluh. Manusiawi? jelas, namanya juga manusia. Kondisi mengeluh-mengeluh itulah yang bisa dinamakan menjadi kurang bersyukur.

Apakah saya termasuk salah satunya? Ya, tentu pasti ada satu keadaan dimana kemudian saya menjadi kurang bersyukur. Sunatullah hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Kadang saat di atas kita menjadi kurang bersyukur, pun saat di bawah pun bisa jadi lebih-lebih tidak bersyukur.

Apa-apa yang terjadi dengan hidup kita pastilah merupakan takdir yang telah digariskannya. Akan tetapi tentunya hal ini juga berkaitan dengan perilaku yang kita lakukan sehari-hari. Saya percaya hukum sebab-akibat, meskipun tetap Allah lah yang selalu memberi keputusan akhir dalam setiap perkara.

Berusaha itu memang sebuah keharusan, tapi tetap Allah jualah Sang Pemegang Keputusan. Kita tentu bisa mengiba-ngiba kepada Allah tentang segala keinginan kita, namun bukan lantas "memerintah" Allah untuk memenuhi keinginan kita lewat doa.

Berdoa tentu ada adabnya, merengek tapi tidak memaksa. Saya semakin menyadari akan hal ini setelah membaca sebuah status yang membahas tulisan Ibnu 'Athailah:

* ETIKA BERDOA' - ALHIKAM *

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary:

“Janganlah pencarianmu (doa- doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu dari Allah Swt, maka pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit. Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk menampakkan wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”

Pencarian merupakan arah yang menjadi sebab terwujudnya kehendak yang harus ada. Pencarian, usaha, doa, ikhtiar merupakan rangkaian sebab- sebab menuju apa yang ingin di raih. Termasuk disini adalah BERDOA. Umumnya orang berdoa agar terwujud apa yang diinginkan. Berikhtiar agar tercapai apa yang dicita-citakan. Padahal dimaksud Allah Swt memerintahkan kita berdoa dan berupaya, semata-mata agar eksistensi kehambaan kita yang serta fakir, serba hina, serba tak berdaya dan lemah muncul terus menerus di hadapanNya. Bukan, agar kita bisa mewujudkan apa yang kita kehendaki, karena hal demikian bisa memaksa Allah Swt menuruti kehendak kita.
Pemahaman yang sempit tentang Allah Swt, akan terus menerus berkutat pada sikap seakan-akan Allah-lah yang mengikuti selera kita, bukan kehendak kita ini akibat kehendakNya, perwujudan yang ada karena kehendakNya, bukan disebabkan oleh kemauan kita. Ketika manusia berdoa seluruh kehinaan dirinya, kebutuhan dirinya dan kelemahannya serta ketakberdayaannya muncul. Itulah hikmah utama dibalik berdoa. Ketika kita berikhtiar, pada saat yang sama kita menyadari betapa tak berdayanya kita. Sebab kalau kita berdaya, pasti tidak perlu lagi ikhtiar dan berjuang. 
Di sisi lain, kita dituntut untuk terus menerus menegakkan Hak- hak KetuhananNya, bahwa Allah berhak disembah, berhak dimohoni pertolongan, berhak dijadikan andalan dan gantungan, tempat penyerahan diri, berhak dipuji dan dipatuhi, berhak dengan segala sifat Rububiyahnya yang Maha Mencukupi, Maha Mulia, Maha Kuasa dan Maha Kuat. Semua harus terus tegak di hadapan kita. Dan itu semua bisa terjadi manakala kehambaan kita hadir.
Ironi-ironi dalam ikhtiar dan doa kita sering terjadi. Kita lebih memposisikan sebagai “tuhan”, dengan banyak memerintah Tuhan agar menuruti kehendak kita, kemauan kita, proyeksi-proyeksi kita. Diam-diam kita menciptakan tuhan dan berhala dalam jiwa kita, agar dipatuhi oleh Allah Sang Pencipta. Inilah piciknya iman kita kepadaNya, yang sering memaksaNya sesuai dengan pilihan-pilihan kita, bukan pilihanNya. Karena itu hakikatnya, menjalankan perintah doa itu lebih utama dibanding terwujudnya doa kita (ijabah).

Ikhtiar kita hakikatnya lebih utama daripada hasil yang kita inginkan. Perjuangan kita hakikatnya lebih utama dibanding kemangan dan kesuksesannya. Ibadah lebih utama dibading balasan- balasanNya. Karena taat, doa, ikhtiar itu menjalankan perintahNya. Sedangkan balasan, ijabah, sukses, kemenangan, bukan urusan manusia dan tidak diperintah olehNya. Banyak orang berdoa, beribadah, berikhtiar, tetapi bertambah stress dan gelisah. Itu semua disebabkan oleh niat dan cara pandangnya kepada Allah Swt yang sempit. Sehingga, bukan qalbunya yang menghadap Allah Swt, tetapi nafsunya.

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra berkata:
“Janganlah bagian yang membuatmu senang ketika berdoa, adalah hajat-hajatmu terpenuhi, bukan kesenangan bermunajat kepada Tuhanmu. Hal demikian bisa menyebabkan anda termasuk orang yang terhijab.”

Bahwa kita ditakdirkan bisa bermunajat kepadaNya, seharusnya menjadi puncak kebahagiaan kita. Bukan pada tercapainya hajat kebutuhan kita. Kenapa kita bisa terhijab? Karena kita kehilangan Allah Swt, ketika berdoa, karena yang tampak adalah kebutuhan dan hajat kita, bukan Allah Tempat bermunajat kita.


Karena itu mulai sekarang saya akan mencoba merubah cara pandang saya terhadap doa. Saya tentu tak akan pernah berhenti meminta, tapi saya juga tidak mau berada dalam posisi seakan-akan memaksa Allah menuruti segala keinginan saya. Saya jelas manusia hina yang akan selalu bergantung padaNya. Saya akan terus dan terus meminta, khususnya tentang rezeki untuk mempunyai anak. Semoga Allah berkenan mempertemukan sel telur dan sperma di rahim saya. Meskipun sang sperma harus berusaha keras dalam keadaannya yang lemah, toh jikalau Allah berkenan maka pastilah sang sperma akan memiliki kekuatan menembus sel telur dengan izinNya. Tentu dengan tidak melupakan berbagai ikhtiar dengan memperkuat sang sperma dan tentunya dengan lantunan doa dari kami dan juga dari teman-teman semua.

Ya, jikalau Allah berkehendak, tiada yang tidak mungkin di dunia ini. Tugas insan tentunya hanya berikhtiar dan berdoa, biarlah selebihnya Allah saja yang bekerja menentukan semuanya.



NewerStories OlderStories Home

0 comments:

Post a Comment